"Negara Jalan Karena Kritik"
Umatuna.com - Gelaran Hari Pers Sedunia atau Word Press Freedom Day (WPFD) 2017 yang digelar di Balai Sidang Jakarta Convention Center, kemarin begitu meriah. Pagi-pagi acara dibuka Wapres Jusuf Kalla. Malamnya, Presiden Jokowi mengisi malam penganugerahan WPFD 2017. Dalam sambutannya yang menggunakan bahasa Inggris, Jokowi menyampaikan selamat datang kepada ribuan jurnalis dari dalam dan luar negeri. "Selamat datang di Indonesia, rumah dari jurnalisme paling bebas dan paling bergairah di seluruh dunia," kata Jokowi. Hadirin menyambut dengan tepuk tangan.
Di pagi hari, JK membuka acara ini. Dalam sambutannya, JK antusias menyampaikan berbagai persoalan klasik yang dihadapi media. Mulai dari independensi media hingga kekerasan terhadap wartawan. Terakhir, JK berpesan agar media sebagai pilar ketiga demokrasi, tetap kritis.
"Karena negara ini jalan karena kritik," tegasnya.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada 3 Mei adalah acara tahunan yang rutin digelar oleh Badan Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Hari ini biasanya diperingati untuk membela media dari bahaya yang mengancam kemerdekaan pers, juga untuk mengenang para jurnalis yang gugur dalam melakukan pekerjaanya.
Nah, tahun ini, Indonesia yang menjadi tuan rumah acara tahunan tersebut. Rangkaian acara dimulai 1-4 Mei 2017 namun puncak perayaan secara resmi dibuka oleh Wapres JK kemarin, setelah hadirin dihibur Tari Lenggang Kipas khas DKI Jakarta.
Ikut hadir dalam pembukaan acara adalah Dirjen Unesco Irina Bokova, Menkominfo Rudiantara, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi. Beberapa menteri dan tokoh juga turut hadir seperti Menkopolhukam Wiranto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Mendikbud Muhadjir Effendi, dan Wapres Timor Leste Hose Ramos Horta. Tahun ini peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia mengangkat tema "Berpikir Kritis di Masa Kritis: Peran Media Mempromosikan Kedamaian dengan Masyarakat yang Aktif dan Terbuka."
JK menyampaikan sambutannya seperti biasa. Tanpa teks dengan logat Makassar yang kental. Tangannya tak mau diam, bergerak-gerak memberi penekanan.
JK mengawali sambutannya dengan menyampaikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang jadi contoh mengenai kebebasan pers. Dia kemudian bercerita soal kondisi media di Indonesia 20 tahun lalu, atau tepatnya di era Orde Baru. Saat itu, media diawasi begitu ketat oleh penguasa. Sehingga tak ada lagi media yang berani mengkritik pemerintah. Baru setelah reformasi 98, media mulai diberi ruang kebebasan dan mulai menunjukkan taringnya. Apalagi setelah dibikin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Media sudah tak khawatir lagi diberedel karena menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Soal kritik, JK bilang mengaku pemerintah tak khawatir. Malah dia berpesan agar media sebagai pilar ketiga demokrasti harus senantiasa kritis. "Negara tanpa pandangan kritis, tidak bisa berjalan dengan baik. Tidak dapat menjalankan misi untuk mensejahterakan rakyat," kata JK.
Usai cerita itu, JK membicarakan bahwa kebebasan pers ini harus dipergunakan dengan baik. Caranya menjadi media yang independen dan bertanggung jawab. Soal independensi media, JK bercerita begini. Dia sedikit menyayangkan karena ada media yang mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Dia bilang, media saat ini sudah menjadi industri. Namanya industri tentu ada CEO-nya. Ada pemegang sahamnya. Tentu pemegang saham atau pemilik perusahaan media tak mau dirugikan oleh pemberitaan yang buruk. Terhadap masalah ini, JK bilang penyelesaiannya ada di internal media tersebut. "Semua tergantung Anda, pemerintah tak mencampuri masalah internal," katanya.
Meskipun begitu, eks Ketum Golkar ini mengimbau agar media arus utama memegang teguh kewajibannya kepada publik untuk menyampaikan berita yang sesuai fakta dan data yang objektif sesuai kode etik. Kata JK, tanggung jawab saat ini bukan lagi pada sensor, tapi terhadap internal media sendiri dan masyarakat. Caranya dengan objektif dan meningkatkan akurasi. Tidak asal menulis.
Menurut JK, objektif itu pula yang bisa mengurangi risiko kasus penganiayaan terhadap wartawan. "Semua profesi ada risikonya. Anda menulis fitnah pasti orang marah. Coba anda tulis dengan objektif pasti orang tidak marah. Jadi jangan mau hak tapi tidak mau kewajiban. Kewajiban anda itu objektif kalau salah ada risikonya," ujarnya.
Sebelumnya, Dirjen UNESCO Irina Bokova berterima kasih kepada Indonesia yang bersedia menjadi tuan rumah rangkaian acara peringatan Hari Pers Sedunia. Bokova juga memuji kebebasan pers di Indonesia pasca-Reformasi 1998, dan kini menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia. Dia bilang UNESCO telah bekerja sama dengan Indonesia ketika mulai membangun Dewan Pers pada 1997. "Dan sejak itu kebebasan pers terus berkembang dan kini menjadi salah satu panutan dunia," kata Bokova. (rmol) [Ummatuna/Apikepol]
Di pagi hari, JK membuka acara ini. Dalam sambutannya, JK antusias menyampaikan berbagai persoalan klasik yang dihadapi media. Mulai dari independensi media hingga kekerasan terhadap wartawan. Terakhir, JK berpesan agar media sebagai pilar ketiga demokrasi, tetap kritis.
"Karena negara ini jalan karena kritik," tegasnya.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada 3 Mei adalah acara tahunan yang rutin digelar oleh Badan Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Hari ini biasanya diperingati untuk membela media dari bahaya yang mengancam kemerdekaan pers, juga untuk mengenang para jurnalis yang gugur dalam melakukan pekerjaanya.
Nah, tahun ini, Indonesia yang menjadi tuan rumah acara tahunan tersebut. Rangkaian acara dimulai 1-4 Mei 2017 namun puncak perayaan secara resmi dibuka oleh Wapres JK kemarin, setelah hadirin dihibur Tari Lenggang Kipas khas DKI Jakarta.
Ikut hadir dalam pembukaan acara adalah Dirjen Unesco Irina Bokova, Menkominfo Rudiantara, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi. Beberapa menteri dan tokoh juga turut hadir seperti Menkopolhukam Wiranto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Mendikbud Muhadjir Effendi, dan Wapres Timor Leste Hose Ramos Horta. Tahun ini peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia mengangkat tema "Berpikir Kritis di Masa Kritis: Peran Media Mempromosikan Kedamaian dengan Masyarakat yang Aktif dan Terbuka."
JK menyampaikan sambutannya seperti biasa. Tanpa teks dengan logat Makassar yang kental. Tangannya tak mau diam, bergerak-gerak memberi penekanan.
JK mengawali sambutannya dengan menyampaikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang jadi contoh mengenai kebebasan pers. Dia kemudian bercerita soal kondisi media di Indonesia 20 tahun lalu, atau tepatnya di era Orde Baru. Saat itu, media diawasi begitu ketat oleh penguasa. Sehingga tak ada lagi media yang berani mengkritik pemerintah. Baru setelah reformasi 98, media mulai diberi ruang kebebasan dan mulai menunjukkan taringnya. Apalagi setelah dibikin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Media sudah tak khawatir lagi diberedel karena menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Soal kritik, JK bilang mengaku pemerintah tak khawatir. Malah dia berpesan agar media sebagai pilar ketiga demokrasti harus senantiasa kritis. "Negara tanpa pandangan kritis, tidak bisa berjalan dengan baik. Tidak dapat menjalankan misi untuk mensejahterakan rakyat," kata JK.
Usai cerita itu, JK membicarakan bahwa kebebasan pers ini harus dipergunakan dengan baik. Caranya menjadi media yang independen dan bertanggung jawab. Soal independensi media, JK bercerita begini. Dia sedikit menyayangkan karena ada media yang mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Dia bilang, media saat ini sudah menjadi industri. Namanya industri tentu ada CEO-nya. Ada pemegang sahamnya. Tentu pemegang saham atau pemilik perusahaan media tak mau dirugikan oleh pemberitaan yang buruk. Terhadap masalah ini, JK bilang penyelesaiannya ada di internal media tersebut. "Semua tergantung Anda, pemerintah tak mencampuri masalah internal," katanya.
Meskipun begitu, eks Ketum Golkar ini mengimbau agar media arus utama memegang teguh kewajibannya kepada publik untuk menyampaikan berita yang sesuai fakta dan data yang objektif sesuai kode etik. Kata JK, tanggung jawab saat ini bukan lagi pada sensor, tapi terhadap internal media sendiri dan masyarakat. Caranya dengan objektif dan meningkatkan akurasi. Tidak asal menulis.
Menurut JK, objektif itu pula yang bisa mengurangi risiko kasus penganiayaan terhadap wartawan. "Semua profesi ada risikonya. Anda menulis fitnah pasti orang marah. Coba anda tulis dengan objektif pasti orang tidak marah. Jadi jangan mau hak tapi tidak mau kewajiban. Kewajiban anda itu objektif kalau salah ada risikonya," ujarnya.
Sebelumnya, Dirjen UNESCO Irina Bokova berterima kasih kepada Indonesia yang bersedia menjadi tuan rumah rangkaian acara peringatan Hari Pers Sedunia. Bokova juga memuji kebebasan pers di Indonesia pasca-Reformasi 1998, dan kini menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia. Dia bilang UNESCO telah bekerja sama dengan Indonesia ketika mulai membangun Dewan Pers pada 1997. "Dan sejak itu kebebasan pers terus berkembang dan kini menjadi salah satu panutan dunia," kata Bokova. (rmol) [Ummatuna/Apikepol]