Membuka Kotak Pandora SKL BLBI Lewat Megawati







Membuka Kotak Pandora SKL BLBI Lewat Megawati

Opini Bangsa - Babak baru kasus korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia membuka tabir kontak pandora yang selama ini terkemas rapih dari lintas rezim.

Apalagi, kasus penyaluran Rp 144,5 triliun untuk 48 bank tersebut bermasalah dan sudah diselidiki cukup lama. Lamanya pengungkapan kasus ini pun akhirnya menemukan titik terang. Penggunaan dana BLBI oleh bank-bank penerima BLBI ditemukan penyimpangan sebesar Rp 84 triliun.

Dari audit yang dilakukan oleh BPK, nilai komersial jaminan BLBI hanya sebesar Rp 12,34 triliun atau hanya 9,54 persen dari total BLBI yang di cessiekan dari BI kepada pemerintah dalam hal ini BPPN.

Berdasarkan temuan hasil audit BPK, pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002.

Sementara dalam menyelesaikan permasalahan BLBI maka 16 bank lainnya seperti BCA, BUN, SURYA, RSI, BUDI, DANAHUTAMA, YAMA, MASHILL, BAJA, BUMI RAYA, PAPAN SEJAHTERA, HASTIN, SEWU IN, BNN, INDOTRADE dan SANHO walaupun bank-bank tersebut dianggap sudah melaksanakan kewajiban pemegang saham melunasi hutang hutangnya kepada BPPN, tetap harus menjadi perhatian KPK.

Sebab, masih banyak bank-bank lain penerima BLBI yang tidak kooperatif terhadap BPPN, bahkan mereka menantang BPPN. Tidak mau membuat perjanjian PKPS, seperti Bank Deka, Centris, Aspac, BCD, Dewa Rutji, Arya Panduartha, Dharmala dan Orient. Terhadap bank bank tersebut dilakukan langkah hukum, namun demikian dalam proses pengadilan ternyata Negara kalah melawan bank-bank tersebut.

Dimulainya pembongkaran kasus ini pun membuat mata publik kembali tertuju dan berharap penuntasan kasus ini harus diakhiri hingga ke akar-akarnya. Satu tersangka pun KPK sudah dijerat yakni orang dekat Megawati Soekarnoputi, yang ketika itu taken Inpres terkait SKL BLBI.

Jika dirunut dari awal terbitnya SKL, maka boleh disebutkan dasarnya adalah Inpres yang dikeluarkan Megawati Soekarnoputri yang ketika itu sebagai Presiden keenam RI.

Namun, yang terjadi dalam mengungkap kasus BLBI ini dibuat seperti benang kusut yang dilempar kesana-kemari oleh para perajutnya. Perlakuan istimewa kepada para obligor diberikan semasa Megawati memimpin pemerintahan pun seolah lepas dari rajutan hukum di Kejaksaan Agung.

Ketua Umum Partai PDI-P itu pun telah menerbitkan Inpres No 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur, yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur, yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham.

Dampaknya, masalah debitor BLBI dianggap sudah selesai dengan membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Mereka pun akhirnya mendapat SKL dari BPPN.

Berbekal SKL, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung mendapatkan Surat Perintah Penghentian Perkara. Dengan berlagak miskin, lagi-lagi sebagian besar utang debitur BLBI dibayar dengan aset yang nilainya rawan penggelembungan itu.

Pada akhirnya, tercatat Sjamsul Nursalim, The Nin King dan Sudono Salim, pemilik Bank Central Asia, Bob Hasan telah memanfaatkan keistimewaan ini. Dan kini, berapakah harta kekayaan yang mereka miliki? Kecuali itu, Inpres itu juga merupakan intervensi terhadap proses hukum.

Dalam proses ini, dapat diduga Presiden Megawati telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power selaku kewenangan presiden dan penerbitan inpres itu.

Inpres itu jelas bertentangan dengan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999, yang berbunyi: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Lantas yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa Megawati sampai meneken Inpres tersebut? Apakah konglomeret hitam dan menteri-menterinya ketika itu telah memberikan tekanan atau sebalikanya, ikut menikmati duit SKL itu.

Sangat beralasan bahwa para obligor itu memiliki kekuatan jaringan ekonomi yang besar, sehingga Presiden didesak untuk menganak-emaskan mereka. Kalaupun ini benar, Megawati tetap tidak dapat lari dari tanggungjawabnya.

Sebab, bagaimanapun Megawati ketika itu adalah pimpinan tertinggi pemerintahan, yang nyata-nyata telah menandatangi persetujuannya atas penerbitan Inpres itu.

Spirit Penuntasan BLBI Pernah Mengemuka

Semasa KPK dipimpin Antasari Azhar pernah membentuk empat tim untuk melakukan penyelidikan kasus BLBI. Namun demikian, Antasari tumbang karena dihantam dengan kasus pembunuhan atas pengusaha Nasrudin. Begitu pula semasa Abraham Samad memimpin KPK, penjualan aset grup milik Sjamsul Nursalim oleh BPPN juga sedang

Bahkan sudah masuk tahap lebih lanjut. Lembaga antikorupsi itu memastikan mengincar pengusaha atau debitur penerima SKL tersebut. Johan Budi SP selaku juru bicara KPK ketika menyatakan, penyelidikan ini sebenarnya KPK berkaitan dengan kewajiban dari pengusaha yang menerima SKL.

Dia menjelaskan, sebelum pemberian SKL itu harusnya para debitur menyelesaikan yang menjadi kewajiban mereka. “Kan ada beberapa debitur yang terima SKL BLBI itu. Jadi bukan kebijakan SKL-nya yang kita selidik, tapi proses terhadap pemberian SKL untuk debiturnya. Terus yang diselidiki itu adalah apakah dalam konteks pemenuhan kewajiban itu ada tindak pidana korupsinya apa nggak,” kata Johan saat konferensi pers di Gedung KPK, Selasa (11/6/13).

Penyelidikan ini juga untuk melihat apakah kewajiban para debitur sudah sesuai atau tidak. Karena ternyata menurut KPK ada beberapa hal yang janggal. Dalam melakukan penyelidik itu, pihak KPK pun telah memintai keterangan mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Pemeriksaan itu dibutuhkan karena ada informasi atau keterangan yang ingin diperoleh dari Sukardi.

KPK pun sudah memintai keterangan dari beberapa pihak di antaranya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan NasionalI Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie dan Boediono ketika menjabat sebagai wakil presiden era SBY.

Pengungkapan kasus oleh dua pimpinan KPK ketika itu pada akhirnya adalah sama-sama secara mendadak dijerat oleh pasal pelanggaran hukum. Uniknya lagi, polisi ketika itu telah menyita berkas kasus BLBI dari meja Antasari dan Samad.

Bagaimanapun kasus BLBI adalah induk dari kasus korupsi di Indonesia. BLBI adalah pertarungan yang sesungguhnya untuk membuktikan ‘nyali’ KPK. Lawannya adalah para konglomerat hitam yang disebut-sebut menjadi bohir di belakang kontestasi pemilu di Indonesia, sehingga mereka bukan hanya memiliki kekuatan secara finansial yang tak terbatas, tetapi juga jaringan yang menyebar di aparatur pemerintahan pusat.

Pertanyaannya, beranikah KPK untuk mengorek lebih dalam lagi kasus yang sudah menetapkan Syafruddin Temenggung yang tak lain adalah bekas Kepala BPPN? Wisnu [opinibangsa.id / akt]

[apikepol.com]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: