Aturan Bypass Bubarkan Ormas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) No 2/2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Jakarta, Rabu (12/7) tidak ubahnya aturan bypass pembubaran ormas.
Bagaimana tidak? Pemerintah menghapus sejumlah pasal yang mengatur mekanisme pemberian sanksi serta pencabutan status badan hukum ormas dalam UU No 17/2013 tentang Ormas (UU Ormas). Mulai pasal 63 sampai 80. Sebagai gantinya, pemerintah mengubah pasal 60, 61 dan 62. Dengan demikian, mekanisme pembubaran ormas menjadi lebih ringkas. ”Mekanismenya jelas berubah,” kata Wiranto.
Dalam pasal 60, perppu yang lebih sering disebut Perppu Ormas itu menyatakan bahwa ormas yang melanggar ketentuan dapat dijatuhi sanksi administratif dan pidana. Secara lebih rinci, sanksi administratif diatur dalam pasal 61 yakni, peringatan tertulis, pengehentian kegiatan, serta pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas.
Sanksi terakhir dapat dilakukan oleh kementerian, lembaga, atau instansi yang menerbitkan izin pembentukan ormas pasca keluarnya surat peringatan pertama yang kemudian disusul sanksi pengehentian kegiatan. ”Tatkala yang diberi izin ngawur, yang diberi izin ngaco, yang diberi izin tidak sesuai dengan kesepakatan semula,” terang Wiranto.
Lain dengan ketentuan dalam UU Ormas, surat peringatan pada Perppu Ormas hanya dikeluarkan sekali. Itu pun dengan jangka waktu satu pekan. Hal tersebut dijabarkan dalam pasal 62 yang juga ubahan pasal serupa pada UU Ormas. Dengan pasal 60, 61, dan 62 pada UU Ormas, mekanisme pemberian sanksi sampai pencabutan status badan hukum ormas tidak butuh waktu lama.
Bahkan, pemerintah tidak perlu meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA), DPR, kejaksaan maupun aparat kepolisian untuk menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan sebagaimana diatur dalam pasal 65 UU Ormas. Pemerintah juga tidak perlu melalui tahapan di meja hijau sampai keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap alias inkracht.
Selain Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan ham) yang disebut dalam Perppu Ormas, Wiranto menyabutkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga punya kewenangan memberi sanksi dan mencabut status badan hukum ormas. ”Sebagian nanti di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),” kata pejabat asal Jogjakarta itu.
Menurut Wiranto, itu sesuai asas hukum administrasi contario actus yang tidak ada dalam UU Ormas. Asas hukum tersebut menyatakan, yang berwenang mencabut atau membatalkan izin adalah lembaga yang mengeluarkan izin. Wiranto menegaskan bahwa asas hukum itu tidak terwadahi dalam UU Ormas. Selain itu, UU tersebut dianggap sudah tidak memadai sebagai benteng dari ideologi anti-Pancasila.
Karena itu, pemerintah membuat Perppu. ”Karena UU yang ada tidak memadai untuk melakukan pembinaan dan pemberdayaan,” jelas mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu.
Dia pun menekankan, pemerintah tidak sembarangan menerbitkan Perppu Ormas. Itu sudah melalui kajian yang mendalam dan komprehensif. Pemerintah sama sekali tidak memiliki niat untuk membatasi ormas. Apalagi ormas Islam. ”Bukan, sama sekali bukan,” imbuhnya.
Malahan, perppu yang diterbitkan sejak Senin (10/7) itu dibuat untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga Indonesia sebagai negara kesatuan tetap eksis tanpa gangguan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Berdasar data yang berhasil dihimpun oleh Kemenko Polhukam, jumlah ormas di Indonesia saat ini mencapai 344.039. ”Beraktivitas dalam segala bidang kehidupan. Baik tingkat nasional maupun daerah,” jelas jenederal TNI purnawirawan itu. Pemerintah punya kewajiban memberdayakan seluruh ormas tersebut sehingga dapat menyumbang kontribusi positif untuk negara.
Meski demikian, belakangan pemerintah melihat ada ormas yang melaksanakan kegiatan di luar ketentuan. Bahkan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah, masih kata Wiranto, memandang itu sebagai ancaman terhadap eksistensi bangsa. Sebab, sudah memicu terjadinya konflik pada berbagai tataran masyarakat. UU Ormas juga dinilai sudah tidak mampu menanggulangi persoalan itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tidak membantah bahwa Perppu Ormas dibuat guna memangkas mekanisme pemberian sanksi dan pencabutan status badan hukum ormas yang diatur dalam UU Ormas. Dengan aturan itu butuh waktu lama untuk membubarkan ormas. Padahal saat ini butuh aturan yang mempercepat pembubaran ormas anti-Pancasila.
”Kondisi nasional ini perlu, tapi itu kan sesuai undang-undang juga. Saya kira itu hanya cara,” ujar JK usai membuka simposium nasional di Gedung Nusantara IV, Komplek DPR kemarin.
Dia menuturkan bahwa pembubaran ormas hal biasa. Tidak beda dengan pencabutan izin perusahaan. Bila perusahaan yang telah diberi izin itu melanggar ketentuan, pemerintah mencabut izinnya. ”Biasa-biasa, apa sajalah. Ada mahasiswa tidak sesuai dengan aturan boleh dipecat. Ada organisasi yang tidak sesuai dengan izinnya ya pasti tindak,” ungkap JK.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly meyakini Perppu No 2/2017 tentang Ormas akan diterima DPR. Setelah diumumkan Menko Polhukam Wiranto, pemerintah bakal segera membawa Perppu tersebut ke DPR. "Haqqul yaqin (tingkat keyakinan paling tinggi, Red) diterima DPR," katanya di kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (12/7).
baca juga: Bantah Ada Kaitan dengan Kasus HRS, Argo: Pelaku Tidak Tahu Profesi Hermansyah, & Tidak Kenal
Yasonna menepis anggapan publik bahwa penerbitan perppu dilakukan pemerintah untuk memuluskan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dinyatakan bertentangan dengan Pancasila. "Ndak lah, masa hanya satu (HTI, Red) saja," tandasnya.
Namun, pihaknya enggan mengungkap ada berapa banyak ormas yang akan dibubarkan menggunakan perppu tersebut. Mantan politikus Senayan dari PDI Perjuangan ini hanya mengatakan, dengan UU Ormas yang sebelumnya sangat sulit bagi pemerintah membubarkan ormas. "UU Ormas yang lama hampir tidak memungkinkan untuk melakukan pembubaran seperti itu. Sangat sulit. Jangan biarkan sampai terjadi hal yang tidak baik ke depannya," pungkas dia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku akan berkoordinasi dengan Menko Polhukam Wiranto terkait Perppu. Ini untuk menyatukan persepsi bagaimana menindaklanjuti perppu tersebut dalam menindak ormas anti-Pancasila itu. "Nanti kami akan diskusikan dengan Menko (Wiranto, Red)," katanya di Mabes Polri, Jakarta, kemarin.
Tito menambahkan, pembahasan soal realisasi Perppu tersebut juga perlu dibahas dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Hal ini untuk menghindari kesahalan penafsiran dalam pelaksaan atau penindakan ormas anti-Pancasila. "Perlu ada koordinasi beberapa instansi. Bukan, Polri sendiri yang menentukan," kata dia.
Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menambahkan, pihaknya sudah menyediakan sejumlah alternatif untuk menindak ormas anti-Pancasila. Namun, dia sepakat dengan atasannya terkait pelaksanaannya menunggu dari Kemenkum dan ham yang diberikan kebijakan menentukan ormas mana yang anti-Pancasila. "Kami sudah siapkan beberapa alternatif pelaksanakan. Kami tunggu dulu pernyataan resmi pemerintah," kata dia.
HTI Menggugat
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan salah satu ormas yang dinilai bersebrangan dengan Pancasila. Organisasi itu dinilai membahayakan NKRI dan merongrong persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu, mereka juga mendukung niatan pemerintah membubarkan HTI yang sudah disampaikan lebih dulu.
Berkaitan dengan hal itu, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto kembali berlainan sikap dengan pemerintah. Dia mengecam penerbitan Perppu Ormas. Perppu tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah terhadap ormas. Terlebih, sejak awal pemerintah sudah berniat untuk membubarkan HTI dan segala aktivitasnya.
Ismail menjelaskan, UU Ormas sudah dibuat sedemikian rupa, termasuk dalam hal prosedur pembubaran. Itu dimaksudkan untuk melindungi ormas dari kezaliman pemerintah yang ingin membubarkan ormas tanpa dasar yang jelas. ”Ketika ketentuan itu diubah, apalagi dnegan menghilangkan mekanisme pengadilan, maka pemerintah jelas sengaja akan bertimdak zalim,” ujarnya kemarin.
Ismail pun menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk membubarkan ormas yang dia bela. HTI merupakan kelompok dakwah berbadan hukum legal dan selama ini telah melaksanakan dakwah dnegan santun, tertib, dan sesuai prosedur. ”Tidak ada hukum yang dilanggar. Mengapa dibubarkan?” lanjutnya.
Terpisah, Kuasa Hukum HTI Yusril Ihza Mahendra, HTI akan mengajukan uji materi Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi (MK). "HTI memutuskan memberi kuasa kepada Ihza-Ihza Law Firm untuk mengajukan permohonan uji materil atas Perpu tersebut yang diyakini bertentangan dengan UUD 1945," kata Yusril.
Yusril mengatakan, langkah yang ditempuh HTI akan diikuti oleh beberapa ormas lain. Ormas-ormas yang akan menggugat berpandangan bahwa perppu ini merupakan kemunduran demokrasi. Namun, Yusril tidak menyebutkan ormas apa saja yang akan mengajukan gugatan. "Perppu ini membuka peluang untuk pemerintah berbuat sewenang-wenang membubarkan ormas yang secara secara subjektif dianggap pemerintah bertentangan dengan Pancasila tanpa melalui proses peradilan," tambahnya.
Menurut Yusril, kewenangan absolut pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak sebagaimana diatur dalam Perppu No 2/2017 bertentangan dengan prinsip negara hukum. Alasannya, kebebasan berserikat adalah hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Norma undang-undang yang mengatur kebebasan itu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD yang lebih tinggi kedudukannya.
Selain pertimbangan di atas, Yusril berpendapat, tidak cukup alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu sebagaimana diatur oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 45. "Perppu hanya bisa diterbitkan dalam 'hal ikhwal kegentingan yang memaksa'," ujar pakar hukum tata negara itu.
Dia mengutarakan, tafsir tentang kegentingan yang memaksa itu ada dalam Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 yang menyebutkan adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Namun, Undang-undangnya belum ada atau Undang-undangnya ada tapi tidak memadai. Sementara, waktu sangat mendesak sehingga akan memerlukan waktu yang lama untuk menyusun UU dengan persetujuan DPR.
Yusril menambahkan, UU No 17/2003 tentang Ormas itu lengkap mengatur prosedur sanksi administratif sampai pembubaran ormas. Akan tetapi, pemerintah justru memangkasnya melalui Perppu No 2 tahun 2017. Pemangkasan itu di antaranya dengan menghapus kewenangan pengadilan dan memberi kewenangan absolut pada pemerintah untuk secara subjektif menilai adanya alasan yang cukup untuk membubarkan ormas.
Selain itu, Yusril menilai perppu ini juga tumpang tindih pengaturan dengan norma-norma dalam KUHP, terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan, serta delik makar yang sudah diatur dalam KUHP. "Adanya tumpang tindih ini bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945," tuntasnya.
Perubahan Prosedur Sanksi dan Pembubaran Ormas
-UU No 17/2013
Urutan langkah pemberian sanksi ormas;
1. Peringatan tertulis sampai tiga kali
2. Bila tidak diindahkan, maka bantuan/hibah untuk ormas itu dihentikan dan kegiatannya dihentikan sementara selama enam bulan
3. Penghentian sementara wajib meminta pertimbangan hukum MA
4. Bila tidak berhasil juga, pemerintah bisa mencabut status badan hukum/membubarkan ormas
5. Sanksi pembubaran dijatuhkan setelah ada putusan pengadilan yang bersifat inkracht
6. Bila ormas tidak berbadan hukum, pemerintah mencabut surat keterangan terdaftar ormas.
Urutan Prosedur Pencabutan Status Badan Hukum/Pembubaran Ormas
1. Menkum HAM mengajukan pembubaran ke Pengadilan Negeri melalui Kejaksaan
2. Permohonan harus disertai bukti sanksi administratif. Bila tidak ada, permohonan tidak bisa diterima
3. Permohonan diputus maksimal 60 hari setelah dicatat, dan diucapkan dalam sidang terbuka
4. Terhadap putusan PN hanya bisa diajukan kasasi
5. Eksekusi putusan pencabutan badan hukum dilaksanakan oleh Menkum HAM
-Perppu Nomor 2 Tahun 2017
Urutan Langkah pemberian Sanksi Ormas
1. Peringatan tertulis satu kali dalam jangka waktu tujuh hari
2. Bila tidak diindahkan, maka diberikan sanksi penghentian kegiatan ormas
3. Bila tidak berhasil juga, Mendagri dan Menkum HAM mencabut surat keterangan terdaftar (bila tidak berbadan hukum) atau status badan hukum ormas alias membubarkan
4. Dalam membubarkan ormas, Mendagri dan Menkum HAM dapat meminta pertimbangan instansi terkait dalam hal ini kementerian di bawah koordinasi Menkopolhukam
Sumber: UU 17/2013 dan Perppu 2/2017 (indopos)
[M.Bersatu/apik.apikepol.com]
“Jika engkau punya teman – yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah- maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Karena mencari teman -‘baik’ itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali” [Imam Syafi'i]