Redenominasi Hanya Untuk Menutupi Lemahnya Kebijakan Ekonomi Nasional






Umatuna.com - REDENOMINASI rupiah hanya akal-akalan untuk menutupi lemahnya kebijakan ekonomi nasional dan defisit anggaran yang sudah di atas 3 persen. Ada upaya melebarkan defisit anggaran untuk diajukan ke DPR supaya bisa diterima menjadi 5 persen sama seperti di negara tetangga. Itu pun belum termasuk ratio hutang negara (pemerintah+korporasi+perbankan+masyarakat) terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Kalau dimasukkan semua hutang negara berbanding dengan PDB (kurang lebih Rp 11549 triliun dengan kurs Rp 13400/US$) pasti sudah jauh di atas 100-200 persen utang negara terhadap PDB. Utang pemerintah saja sudah mencapai Rp 3165 triliun yang akan terus berkembanng pada tahun mendatang, kalau saat ini dibandingkan terhadap PDB minimal sudah (Rp 3165/Rp11549) x 100 persen = 27,40 persen. Ada pendapat pejabat bahwa utang pemerintah masih OK karena belum mencapai 60 persen dari PDB atau belum 100 persen dari PDB.

Dengan kondisi defisit yang sudah di atas 3 persen dan pertumbuhan ekonomi cuma 5.01 persen (kalah dibandingkan Filipina, Myanmar, Cambodia yang rata-rata 6,9 persen) dan pertumbuhan ini hanya bertumpu pada 4 daerah (Jabodetabek, Kaltim, Riau dan Kepri) dengan pertumbuhan di atas 5 persen apa tidak keliru kalau Menkeu Sri Mulyani mengisyaratkan bahwa ekonomi ekonomi Indonesia stabil untuk redenominasi rupiah?

Redonominasi Rp dengan memotong tiga angka nol sebenarnya adalah upaya menutup lemahnya nilai Rupiah dari Rp 13400/US$ dibuat menjadi Rp 13,4/US$ bahkan kalau nilai Rupiah melemah menjadi Rp 15000/US$ hanya menjadi Rp15/US$. Tetapi tidak akan merubah prosentase nilai utang terhadap PDB dengan "dollar debt to dollar GDP ratio" apalagi kalau ada pejabatnya yang berani mengatakan Rupiah melemah tidak apa-apa karena sudah redenominasi melemahnya cuma 2 perak saja (Rp 2); nilai tukar Rupiah terhadap nilai US$. Keinginan redenominasi Rupiah harus kita anggap sebagai lelucon baru di tengah lesunya perekonomian nasional dengan mengambil jalan pintas mengurangi tiga angka nol tetapi beban utang luar negeri tetap tinggi, karena tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional secara keseluruhan.

Kita harus menyadari bahwa mata uang Rupiah adalah mata uang yang tidak laku di ASEAN (tidak ada penduduk negara-negara ASEAN diluar Indonesia yg mau menyimpan Rp di perbankan di negara mereka sebagai cadangan mata uang yang sewaktu-waktu bisa ditukar katakan dengan mata uang mereka seperti dolar Singapore, Ringgit Malaysia atau Bath Thailand.

Redenominasi Rupiah jangan dianggap hanya sebatas penyederhanaan nilai rupiah tanpa didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat dan stabil dalam jangka panjang. Sebab, redenominasi membutuhkan kestabilan ekonomi nasional dan masa transisi kepercayaan yang cukup lama dan bisa diterima oleh otoritas moneter di negara-negara tetangga ASEAN bahwa kondisi ekonomi Indonesia memang bagus dan kuat. Tanpa ada pertumbuhan ekonomi yang nyata tidak akan ada otoritas moneter di negara-negara ASEAN yang mau menerima Rupiah dan nasib Rupiah akan tidak bedanya dengan dolar Zimbabwe yang hanya dipakai untuk menyenangkan hati rakyatnya saja.

Bahasa sederhananya redenominasi adalah penyederhanaan nilai dari mata uang dengan memangkas sejumlah angka nol, tanpa mengubah nilainya kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowadojo yang saat ini kembali mencuatkan rencana tersebut karena menilai tahun ini sebagai waktu terbaik untuk memulai redenominasi. Lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch Ratings, Moody's Investor Service, dan Standard and Poor's (S&P), tidak bisa dipakai sebagai acuan selama kita memberikan bunga yang menarik buat obligasi utang yang diterbitkan di luar negeri, yang jauh lebih tinggi dari negara di Asia saat ini. Namun, untuk memastikan perekonomian tetap kuat apakah pemerintah dan BI bisa dan mampu menjaga konsistensi kebijakannya?

Tidak mengherankan kalau Ketua Komisi Keuangan DPR Melchias Markus Mekeng mempertanyakan persiapan yang sudah dilakukan BI untuk melaksanakan redenominasi. "BI cuma ngomong redenominasi. Mana sekarang, apa langkah yang sudah dia lakukan". Sangat dikuatirkan kalau redenominasi dilakukan maka Rupiah menjadi mata uang yang tidak laku dan tidak ada yang mau terima di pasar uang ASEAN, lupakan pasar mata uang kelas dunia karena Rupiah bukan sekelasnya Yuan, Yen, US$ atau Euro.

Selama kekuatan ekonomi nasional masih berdasar pada produk andalan ekspor jaman VOC seperti; Komiteh (Kopi, Mie, Teh), Minyak Sawit, Karet, Lada, Vanili, Cengkeh, Pala dan Babi dari pulau bulan ke Singapore, lebih baik pemerintah konsentrasi saja pada perbaikan, pertanian untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri dengan mengurangi impor yang jauh lebih baik daripada memikirkan redenominasi yang cuma mengurangi nominal angka nol nilai rupiah yang hanya untuk pantes-pantesan dilihat mata dengan potong tiga angka nol di belakang nilai rupiah. [***]

Penulis adalah dosen program Pascasarjana Universitas Indonesia

Sumber: Rmol [Ummatuna/Apikepol]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: