Ribut-Ribut Soal Freeport, Kelola Saja dengan Syariah Islam!








Oleh : A. R. Zakarya (LS DPD HTI Jombang)

Perkembangan terakhir terkait situasi di tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia yang ada di Provinsi Papua, tak lepas dari pengamatan Sekretariat Nasional Jokowi (Seknas Jokowi). Dalam catatan relawan Jokowi tersebut, ada kecenderungan PT Freeport Indonesia (PTFI) bertindak kelewat batas dengan menolak dan mengabaikan regulasi yang diterbitkan pemerintah Indonesia.

Hal itu tampak dari penolakan PT Freeport terhadap Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2017, Peraturan Menteri ESDM No 5 dan 6 tahun 2017, serta Peraturan Menteri Keuangan tentang bea keluar produk mineral.

“PTFI menolak perubahan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK. PTFI menolak divestasi 51 persen, dan menolak bea ekspor yang ditetapkan Menkeu, ini kan seenaknya sendiri namanya,” kata Ketua Umum DPN Seknas Jokowi, M Yamin dalam keterangannya, Jakarta, Senin (20/2). (merdeka.com, 20/2/2017).

Pemerintah Tak Bernyali

Perjalanan Freeport bukan kali ini saja. Ribut-ribut sudah terjadi sejak lama, tatkala pemerintah Indonesia tidak berdaulat dalam pengelolaan SDA di Papua. Bumi Papua yang kaya dengan SDA menjadi daya tarik tersendiri bagi kepentingan korporasi asing maupun aseng. Perebutan pengelolaan itu sesungguhnya melibatkan pihak istana sebagai penentu kebijakan. Di sisi lain, lembaga legislatif lah yang selama ini telah menelurkan UU yang pro asing dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Konflik yang kian meruncing terkait pengelolaan Freeport ini diperparah dengan arogansi Freeport McMoran yang membawa ke dunia internasional. Beberapa tahun lalu juga sempat muncul papa minta saham yang melibatkan lingkaran istana dan anggota dewan. Begitu pula terkait aturan ekspor konsentrat yang mewajibkan setiap perusahaan harus mengelola barang mentah di Indonesia. Hal ini ditengarai jika tidak dikelola di Indonesia, kerugianlah yang didapat. Sudah pajak yang disetor sedikit ke kas negara, rakyat di sekitar pun tidak sejahtera.

Sesuai kebijakan pemerintah, Freeport yang sebelumnya mengacu kepada KK, diharuskan beralih ke bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). “Bahwa suatu kontrak memaparkan UU bagi pihak-pihak yang berkontrak tersebut dan kontrak tidak dapat diubah atau diakhiri secara sepihak, meskipun berdasarkan hukum dan peraturan perundangan yang diterbitkan kemudian,” tandas Richard C Adkerson (Pejabat Eksekutif Tertinggi Freeport-McMoRan). (okezonefinance, 20/2/2017). Pernyataan ini semakin menunjukkan arogansi Freeport.

Penguasa negeri ini sejak lama memang tidak punya nyali untuk menindak Freeport. Dalam soal royalti dan dividen mereka membungkuk saja di hadapan perusahaan Amerika ini. Freeport hanya memberikan royalti satu persen dari hasil penjualan emas dan 3,75 persen masing-masing untuk tembaga dan perak. Kewajiban yang terbilang sangat rendah dibanding keuntungan yang dikantongi Freeport.

Belum lagi lambatnya pembangunan smelter Freeport. “Jika tetap menginginkan kontrak karya, Freeport harus penuhi keinginan warga Papua untuk membangun smelter di Papua karena sumber mineral yang dieksploitasi juga berasal dari bumi Papua,” kata Bupati Kabupaten Mimika Eltinus Omaleng.

“Bahwa pada prinsipnya, kami akan bangun kembali smelter jika sudah ada kesepakatan (kontrak),” kata Direktur Freeport Indonesia Clementino Remury, saat  rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu (7/12/2016).

Manajemen perusahaan tambang terbesar di Indonesia itu menilai tempat ideal membangun pabrik smelter adalah di Gresik Jawa Timur, bukan di Papua.

Pada prinsipnya , pembangunan smelter di Gresik sudah dilaksanakan, meskipun kemajuannya memang tidak terlalu cepat. Sebelumnya, Freeport menyebutkan, pembangunan smelter Gresik telah mencapai 11,5 persen. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM mengungkapkan, kemajuan pembangunan smelter Gresik tercatat 14 persen per Juli 2016. Dengan demikian, kemajuan pembangunan smelter Freeport hanya mencapai 2,5 persen dalam setahun belakangan. Apa tindakan pemerintah? Nihil.
Ketidakberdayaan pemerintah atas arogansi Freeport menunjukkan ketundukan dan kepasrahan pemerintah atas perusahaan asal Amerika tersebut. Ini juga makin meyakinkan kepada kita bahwa sistem ekonomi Neoliberalisme yang saat ini diadopsi oleh pemerintah benar-benar menjadikan negeri ini tunduk di hadapan asing.

Kelola Tambang Freeport dengan Syariah

Dalam Islam segala macam bentuk sumberdaya yang jumlahnya melimpah merupakan kepemilikan umum. Sumber daya itu diantaranya, minyak, batubara, tembaga, emas, perak, nikel, uranium, bauksit, gas, dsb. Seluruh kekayaan itu wajib dikelola negara dan dikembalikan manfaatnya kepada seluruh rakyat. Pemerintah haram mengambil keuntungan atas rakyat. Begitu pula haram hukumnya menyerahkan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kepada swasta, apalagi swasta asing.

Ini artinya apabila pengelolaan tambang Freeport disesuaikan dengan aturan syariah maka seluruh rakyat akan mampu merasakan dan menikmati manfaat kekayaan alam yang melimpah yang dihasilkan dari bumi cenderawasih ini. Kesejahteraan dan kemakmuran bukan sekedar impian dan harapan, lebih dari itu akan mampu terwujud secara nyata dalam realita.

Ini masih persoalan tambang Freeport, padahal kekayaan Indonesia begitu melimpah. Sayangnya seluruh kekayaan alam itu kini dikuasai asing. Jika syariah diterapkan secara total dan sempurna bukan suatu hal yang mustahil Indonesia akan menjadi negara maju dan kaya dalam sekejap. Oleh karenanya pengelolaan kekayaan tambang Freeport dan seluruh kekayaan alam di Indonesia wajib diatur sesuai syariah. Sedangkan satu-satunya sistem yang mampu mengelola kekayaan alam Indonesia dengan syariah hanya Khilafah, bukan yang lain. Daripada ribut-ribut soal Freeport, ambil alih saja lalu kelola dengan syariah. Beres![]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: