Luar Biasa Dzalim! Inilah Deretan Kedzaliman Freeport, dari 17 Gunung Hilang sampai Limbah
Aktivis Papua tuntut PT. Freeport
PT Freeport Indonesia telah menduduki tanah Papua sejak 1963. Perusahaan tambang Amerika Serikat ini dinilai tak memberikan kesejahteraan untuk rakyat Papua hingga saat ini.
Munculnya Freeport pun diawali dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing di Indonesia. Sejak saat itu, Freeport hanya memberikan royalti sebesar 1 persen untuk Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, UU tersebut diperbaharui menjadi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara. Dalam aturan itu, Freeport harus melakukan renegosiasi kontrak dengan meningkatkan royalti, mengurangi wilayah tambang, membangun pabrik pengolahan dan pemurnian serta divestasi saham.
Freeport melakukan pembelaan. Perusahaan tambang ini malah mengklaim pemerintah Indonesia mendapatkan keuntungan atas pengelolaan tambang di Papua sebesar 60 persen sejak 1992. Pasalnya, pemerintah menerapkan banyak pajak dalam pengelolaan tambang dan mineral.
"Di situ ada pajak badan, ada royalti, ada PNBP, ada macam-macam. Itu kontribusi kita sangat besar. Kita punya catatan kontribusi kita kepada pemerintah itu 60 persen dari pajak, royalti dan sebagainya dibanding dari Induk Freeport yang cuma 40 persen," ujar Juru Bicara Freeport Riza Pratama.
Selain itu, keuntungan langsung pemerintah yang diberikan perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini mencapai USD 15,8 miliar atau setara Rp 215,1 triliun.
Namun sejumlah pihak termasuk rakyat Papua memandang lain. Freeport justru berlaku tidak adil pada rakyat Papua. Berikut merdeka.com akan merangkum beberapa di antaranya.
1. 17 Gunung hilang dikeruk Freeport
Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai, meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) menyelesaikan tuntutan ganti rugi tanah masyarakat suku Amungme. Hal tersebut sebagai upaya penghormatan terhadap hak ulayat masyarakat adat.
"Kami meminta PT Freeport Indonesia memberikan saham secara cuma-cuma kepada masyarakat suku Amungme sebagai pemilik hal ulayat dalam proses divestasi PT Freeport," ujar Pigai, di Komnas HAM, Jakarta.
Pigai mengatakan selama ini tambang PT Freeport menguasai sebanyak 17 lahan gunung di Papua untuk kemudian dikelola sebagai lahan pertambangan. Semua lahan tersebut, tidak pernah ada transaksi jual beli antara suku adat, pemerintah dan PTFI.
2. 48 tahun beroperasi, Freeport tak sejahterakan rakyat Papua
Aktivis Papua, Arkilaus Baho, menilai selama 48 tahun Freeport Indonesia belum memajukan dan mensejahterakan rakyat Papua. Menurutnya, Papua sudah banyak memberi pada Freeport di mana tiap harinya USD 12 juta (data 2011) hasil bumi dikeruk demi bisnis perusahaan.
"Bila hasil itu dipakai untuk beli obat diare dan demam, justru anak-anak generasi Papua tidak sekarat seperti yang terjadi di Mbua, Kabupaten Nduga," katanya seperti dilansir dari Antara, di Jayapura, Papua.
Pernyataan ini disampaikan Arkilaus Baho karena keprihatinannya soal 41 anak-anak di Nduga yang dikabarkan mati karena penyakit yang belum terdeteksi pada awal dan tengah November ini.Menurut dia, dunia mengenal Freeport sebagai 'monster-nya' Gunung Nemangkawi, tetapi buta akan nasib yang dialami penduduk Papua di pedalaman.
3. Freeport minim pekerjakan putra-putri Papua
Direktur Utama PT Urampi Indah Pratama Radya Allberdto Wanggai mengeluhkan kondisi di Papua, khususnya di sekitar tambang PT Freeport Indonesia. Konflik antara Freeport dan suku atau warga Papua seolah tak pernah berhenti.
Persoalan antara dua belah pihak seolah tak ada habisnya. Kecemburuan sosial menjadi akar persoalan yang membuat Freeport seolah 'tak pernah akur' dengan penduduk lokal.
Pemicunya iri hati lantaran pekerja Freeport didominasi orang-orang dari Jawa dan tenaga kerja asing (TKA).
"Jadi kebanyakan (pegawai) berasal dari Jawa dan luar, dari lokal tidak ada jadi kita ada iri," ujarnya kepada merdeka.com, Jakarta.
Penduduk lokal menuding, mereka yang bekerja di Freeport memiliki hubungan darah atau kedekatan dengan petinggi perusahaan. Pengusaha lokal merasa dipandang sebelah mata.
4. Kuras air Papua, Freeport tolak bayar pajak
Pemerintah Provinsi Papua meminta PT Freeport Indonesia untuk dapat mematuhi keputusan Pengadilan Pajak Jakarta yang menolak gugatan perusahaan itu dan segera membayar denda air permukaan. Jumlah pokok pajak sesuai dengan Perda Nomor 4 Tahun 2011 mencapai hampir Rp 2,6 triliun.
"Kita harap dia melaksanakan kewajiban putusan. Dia harus bayar dendanya, kemudian melaksanakan sesuai dengan peraturan daerah Nomor 4 Tahun 2011," kata Gubernur Papua Lukas Enembe ditemui di Hotel Pullman, Jakarta pada Jumat.
Menurut Lukas, jumlah itu belum termasuk dengan denda yang harus dibayarkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. "Sampai sekarang belum dibayar sama sekali, dan jumlahnya hampir mencapai Rp 2,6 triliun. Itu pokoknya, kalau dengan denda sekitar Rp 3 triliunan," tegas Lukas.
Menurut Lukas, Pengadilan Pajak Jakarta telah memutuskan menolak gugatan PTFI terkait Pajak Air Permukaan pada 17 Januari 2017. Pemda akan menanti pemberian salinan putusan Pengadilan Pajak guna proses pelunasan pokok pajak dan denda lebih lanjut.
"Ini adalah langkah awal menuju perbaikan ekonomi Indonesia. Kita harus tegas dalam hal-hal seperti ini dan negara ini bisa maju kalau pajaknya dipenuhi oleh pengusaha-pengusaha atau investor atau perorangan seperti itu," tegas Lukas.
5. Freeport buang limbah ke tanah Papua tanpa diolah
Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menuding PT Freeport Indonesia membuang limbah sembarangan di Papua. Menurut dia, limbah yang dihasilkan dari proses penambangan ini dibuang ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu.
Rizal menyebut limbah Freeport merusak ekosistem. Namun, tidak ada tindakan tegas para penegak hukum atas tindakan Freeport tersebut.
"Freeport seenaknya, limbah dan galian yang diaduk pake mercury (senyawa kimia beracun) dibuang begitu saja ke sungai. Ikan-ikan pada mati, penduduk menderita," tegasnya.
Mantan menko perekonomian ini menegaskan perusahaan sebesar Freeport harus mampu melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang. Dia menilai Freeport tak mau keluarkan dana pengolahan limbah sehingga mereka langsung buang ke sungai.
"Enggak ada susahnya memproses limbah itu, tapi karena tamak (greedy) tidak mau bayar (mengeluarkan uang)," ungkapnya.
Merdeka