Begitu Hinakah Kami Para Pribumi Di Indonesia?
Umatuna.com - MENJELANG tengah malam, ada sepucuk surat yang berselewaran di media sosial. Surat permohonan permintaan maaf dari seorang mahasiswa Indonesia kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH Muhammad Zainul Majdi. Surat yang bertanda tangan atas nama Steven Hadisurya Sulistyo itu dibuat di Bandara Soekarno Hatta pada tanggal 9 April 2017.
Saat membaca surat tersebut hati saya langsung mendidih, bukan karena status Tuanku Guru Baja yang merupakan seorang Gubernur dihina. Tapi kata-kata yang disampaikannya membuat hati ini sakit dan terhina, Steven menyebut kata dasar pribumi, dasar Indo, Tiko (Tikus Kotor).
Setelah mencari siapa sosok Steven tersebut, saya menemukan ternyata dia sosok bermata sipit. Besar kemungkinan dia merupakan warga keturunan, hal itu berdasarkan kata-katanya yang menyebut dasar pribumi. Saya menyimpulkan kalau dia bukan orang pribumi atau asal usulnya bukan pribumi asli Indonesia.
Bukankah saat ini kata pribumi dan tidak pribumi sudah berusaha kita hapuskan semua. Setiap orang yang sudah menjadi warga negara indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, kenapa Steven menyebut kata-kata tersebut. Dia harus paham, kalau kata itu bisa memancing api kemarahan.
Yang saya takutkan adalah seorang Gubernur saja bisa dihina begitu rupa, apalagi saya yang hanya orang kecil. Tak terbayangkan jika nanti saya bekerja dengannya, atau berurusan dengan orang seperti Steven. Mungkin kepala saya akan diinjaknya setiap hari, harga diri juga tidak akan ada.
Saya menduga rasa nasionalisme Steven masih diragukan. Jika dia benar-benar cinta kepada Indonesia, tentu dia tidak akan menghina sesama orang Indonesia. Tidak merendahkan suku, agama ataupun latar belakang. Jika memang Steven lebih memuliakan keaslian keturunannya, sebaiknya pindah warga negara. Karena orang seperti Steven ini merupakan ancaman nyata terhadap kebhinnekaan dan persatuan Indonesia.
Meski dia telah mengucapkan permintaan maaf, tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena dia harus tahu, saya yang tidak punya hubungan dengan Tuan Guru Baja saja bisa marah, apalagi masyarakat NTB yang merupakan rakyat yang dipimpin oleh TGB. Terlebih lagi TGB adalah sosok yang sangat dihormati tidak saja sebagai statusnya Gubernur, tapi juga dianggap tokoh agama.
Tidak terbayang oleh saya bagaimana suasana hati masyarakat NTB saat membaca atau mengetahui tentang kejadian yang dialami pemimpin mereka. Sekedar saran kepada pihak kepolisian, meski telah ada permintaan maaf, sebaiknya melakukan tindakan pencegahan. Karena ini berpotensi besar terhadap rusaknya persatuan dan membahayakan.
Sebagai seorang pemimpin yang sudah terkenal murah hati, tentu TGB akan memaafkan anak muda seperti Steven. Tapi apakah permintaan maaf itu saja cukup untuk membuat dia jera agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika hanya dengan maaf saja, akan membuat orang lain melakukan tindakan yang sama.
Entah kenapa saya jadi teringat dengan arogansi seorang Ahok, dia telah berulang kali mengeluarkan kata-kata yang merendahkan orang lain. Apakah ada kaitan dengan kejadian ini saya juga tidak tahu, akan tetapi jika dicarikan korelasinya tentu ada.
Begitu hinakah kami pribumi dimata kalian? Perlu dipahami, rasa bangga kami kepada Indonesia tidak bisa diukur dari uang. Jangankan harta, nyawa saja sudah dikorbankan para leluhur kami untuk memerdekakan negeri ini. Jadi jangan pecahkan persatuan yang selama ini kita jaga.[***]
Tanri Abeng
Pengusaha
(rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]
Saat membaca surat tersebut hati saya langsung mendidih, bukan karena status Tuanku Guru Baja yang merupakan seorang Gubernur dihina. Tapi kata-kata yang disampaikannya membuat hati ini sakit dan terhina, Steven menyebut kata dasar pribumi, dasar Indo, Tiko (Tikus Kotor).
Setelah mencari siapa sosok Steven tersebut, saya menemukan ternyata dia sosok bermata sipit. Besar kemungkinan dia merupakan warga keturunan, hal itu berdasarkan kata-katanya yang menyebut dasar pribumi. Saya menyimpulkan kalau dia bukan orang pribumi atau asal usulnya bukan pribumi asli Indonesia.
Bukankah saat ini kata pribumi dan tidak pribumi sudah berusaha kita hapuskan semua. Setiap orang yang sudah menjadi warga negara indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, kenapa Steven menyebut kata-kata tersebut. Dia harus paham, kalau kata itu bisa memancing api kemarahan.
Yang saya takutkan adalah seorang Gubernur saja bisa dihina begitu rupa, apalagi saya yang hanya orang kecil. Tak terbayangkan jika nanti saya bekerja dengannya, atau berurusan dengan orang seperti Steven. Mungkin kepala saya akan diinjaknya setiap hari, harga diri juga tidak akan ada.
Saya menduga rasa nasionalisme Steven masih diragukan. Jika dia benar-benar cinta kepada Indonesia, tentu dia tidak akan menghina sesama orang Indonesia. Tidak merendahkan suku, agama ataupun latar belakang. Jika memang Steven lebih memuliakan keaslian keturunannya, sebaiknya pindah warga negara. Karena orang seperti Steven ini merupakan ancaman nyata terhadap kebhinnekaan dan persatuan Indonesia.
Meski dia telah mengucapkan permintaan maaf, tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena dia harus tahu, saya yang tidak punya hubungan dengan Tuan Guru Baja saja bisa marah, apalagi masyarakat NTB yang merupakan rakyat yang dipimpin oleh TGB. Terlebih lagi TGB adalah sosok yang sangat dihormati tidak saja sebagai statusnya Gubernur, tapi juga dianggap tokoh agama.
Tidak terbayang oleh saya bagaimana suasana hati masyarakat NTB saat membaca atau mengetahui tentang kejadian yang dialami pemimpin mereka. Sekedar saran kepada pihak kepolisian, meski telah ada permintaan maaf, sebaiknya melakukan tindakan pencegahan. Karena ini berpotensi besar terhadap rusaknya persatuan dan membahayakan.
Sebagai seorang pemimpin yang sudah terkenal murah hati, tentu TGB akan memaafkan anak muda seperti Steven. Tapi apakah permintaan maaf itu saja cukup untuk membuat dia jera agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika hanya dengan maaf saja, akan membuat orang lain melakukan tindakan yang sama.
Entah kenapa saya jadi teringat dengan arogansi seorang Ahok, dia telah berulang kali mengeluarkan kata-kata yang merendahkan orang lain. Apakah ada kaitan dengan kejadian ini saya juga tidak tahu, akan tetapi jika dicarikan korelasinya tentu ada.
Begitu hinakah kami pribumi dimata kalian? Perlu dipahami, rasa bangga kami kepada Indonesia tidak bisa diukur dari uang. Jangankan harta, nyawa saja sudah dikorbankan para leluhur kami untuk memerdekakan negeri ini. Jadi jangan pecahkan persatuan yang selama ini kita jaga.[***]
Tanri Abeng
Pengusaha
(rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]