Tidak Ada Dasar Hukum Freeport Indonesia Bisa Ekspor Konsentrat
Tidak Ada Dasar Hukum Freeport Indonesia Bisa Ekspor Konsentrat
Opini Bangsa - Keputusan Pemerintah agar PT Freeport Indonesia (PT FI) terima izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan tujuan dapat melakukan ekspor konsentrat, tidak memiliki dasar hukum.
Begitu kata Chairman Indonesia Initiative Adam Wahab menanggapi masalah pemberian IUPK bagi Freeport yang sebelumnya dijelaskan Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid.
Dijelaskan Adam, UU Minerba menyebutkan bahwa 5 tahun setelah diundangkan harus membangun smelter, artinya dalam kasus ini terhitung sejak Januari 2014. Padahal tidak boleh badan hukum apapun untuk ekspor konsentrat atau bahan galian karena melanggar UU.
"Jadi ijin ekspor sebelumnya berdasar PP dan Permen, pemerintah dan penambang sadar telah melanggar hukum dan itu pidana. Ada sanksinya di UU," jelas Adam dalam kicauannya di akun jejaring sosial Twitter @adamWH68, Jumat (7/4).
Kata Adam, menerima IUPK tidak hanya mengenai masalah divestasi. Tapi ada masalah krusial karena menurut UU Minerba, IUPK untuk eksplorasi maksimal 100 ribu hektare dan untuk IUP produksi mineral maksimal 25.000 hektare. Sementara luas eksplorasi PTFI 212.000 hektare dan produksi melebihi 30.000 hektare
"Itu jelas melanggar UU. Ini sesuatu yang serius karena valuasi akan tengkurap dengan hanya luas maksimal 25.000 hektare. Reserve (pemesan) sudah disekolahkan ke bank," kata ketua umum Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) itu.
Sementara masalah kewajiban membangun smelter, lanjutnya, tidak ada pergerakan berarti di Gresik. Ia berharap ini bisa segera direalisasikan atau minimal Freeport tidak lagi menggunakan keuntungan untuk berinvestasi di luar negeri.
"Freeport Indonesia memang pelik jika dikaitkan dengan sejarah pembebasan Papua ke Indonesia. Tapi kita juga harus tegas ke semua owner perizinan mineral," pungkas sekjen ICCA itu.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid mengatakan bahwa perubahan KK menjadi IUPK menjadi prioritas dalam perundingan pemerintah dengan PTFI. Ini karena akan menjadi dasar bagi perundingan tahap berikutnya. Di samping itu, IUPK memungkinkan operasi FI di Timika, Papua, kembali normal sehingga tidak timbul ekses ekonomi dan sosial berkepanjangan bagi masyarakat Timika, khususnya dan Papua umumnya.
Dijelaskan Hadi, setelah empat pekan berunding, FI sepakat menerima IUPK. Meski demikian FI meminta perpanjangan waktu perundingan dari enam bulan sejak Februari menjadi delapan bulan sejak Februari. Kementerian ESDM menyepakati permintaan tersebut, sehingga waktu tersisa terhitung sejak April ini adalah enam bulan.
Enam bulan adalah waktu tersisa untuk perundingan jangka panjang, meliputi pokok bahasan stabilitas investasi yang dituntut FI sebagai syarat menerima IUPK, kelangsungan operasi FI, dan divestasi saham 51 persen.
Sesuai PP 1/2017, pemegang IUPK bisa mengajukan rekomendasi ekspor konsentrat untuk enam bulan, dengan syarat menyampaikan komitmen pembangunan smelter dalam lima tahun, membayar bea keluar yang ditetapkan menteri keuangan, dan divestasi saham hingga 51 persen. Poin tentang divestasi akan masuk dalam pembahasan jangka panjang.
Progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setelah enam bulan. Jika hasil verifikasi menunjukkan progres pembangunan smelter tidak sesuai dengan rencana yang telah disetujui Kementerian ESDM, maka rekomendasi ekspor akan dicabut.
Ketentuan tersebut berlaku untuk semua pemegang IUPK, tanpa kecuali. Prosedur ini telah ditempuh pemegang KK lainnya yang telah beralih ke IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Dengan demikian jelas bahwa landasan operasi FI dalam enam bulan ke depan adalah IUPK.
Alhasil, target perundingan jangka pendek telah tercapai, termasuk kembali normalnya operasi FI di Timika, sehingga ekses sosial dan ekonomi yang terjadi sejak pelarangan ekspor FI pada 12 Januari 2017 tidak meluas dan berkepanjangan.
Perundingan tahap kedua akan dimulai pekan kedua April, dengan landasan yang kokoh, yaitu IUPK. Perundingan melibatkan instansi/lembaga terkait, di antaranya Kementerian Keuangan, BKPM, Kementerian Dalam Negeri, Pemprov Papua, termasuk di dalamnya Pemkab Timika dan wakil masyarakat adat di Timika. [opinibangsa.id / rmol]
[apikepol.com]