Ahokers Jangan Mimpi Ahok Bisa Dibebaskan
Ahokers Jangan Mimpi Ahok Bisa Dibebaskan
Opini Bangsa - Rasa nasionalisme dan kebhinekaan Ahokers para pendukung terpidana penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus dipertanyakan terkait kasus yang menjerat Ahok dibawa ke dunia internasional.
Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar, Profesor Suparji Ahmad mengatakan, Indonesia adalah negara hukum yang berdaulat dan kekuasaan kehakiman adalah independen serta imparsial. Tidak boleh ada, termasuk pihak asing mengintervensi putusan pengadilan terhadap Ahok, dan harus dihormati.
“Putusan pengadilan terhadap Ahok merupakan mekanisme penegakan hukum di Indonesia. Sehingga tidak relevan dan tidak ada alasan untuk dibawa ke PBB. Ini perlu ditelusuri motif pihak asing yang turut mengintervensi pada kasus Ahok," kata Suparji Ahmad kepada Harian Terbit, Minggu (14/5/2017).
Suparji menduga, adanya negara asing yang mengintervensi hukum yang berlaku di Indonesia hanya permainan tim pendukung Ahok atau Ahokers saja. Ini bisa dilihat dengan tim Ahok yang bermaksud mempengaruhi putusan pengadilan melalui pengumpulan foto copy KTP dan melibatkan dunia internasional.
“Oleh karenanya aparat penegak hukum harus tegas jika ada aksi massa yang tidak melakukan pemberirahuan dan melewati batas ketentuan,” ujarnya.
Kedaulatan
Sementara itu peneliti senior dari Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap mengatakan, memang ada ketentuan internasional atas persetujuan PBB boleh ikut campur negeri orang terkait kemanusian. Namun kasus yang menyangkut Ahok adalah terkait penegakan hukum bukan soal kemanusiaan sehingga tidak boleh digunakan prinsip intervensi kemanusiaan.
Muchtar menilai, para pendukung Ahok seakan buta dan mimpi dalam fiksinya dengan melibatkan pihak asing. Dengan Ahokers yang tidak siap kalah dan tidak siap menerima keputusan hukum, menunjukkan Ahokers sangat primitif dalam berdemokrasi.
"Isu asing minta Ahok dibebaskan merupakan mimpi dan hayalan kelompok Ahoker. Mau (Ahokers) itu buta aturan main hubungan antar negara. Mereka berkhayal, non state di negeri luar bisa mempengaruhi keputusan negara Indonesia. Jika publik tidak kritis, bisa ikutan jadi buta ketentuan hubungan international," jelasnya.
Juru Bicara Kemenlu, Arrmanatha Nasir merespons sorotan internasional, khususnya dari badan-badan dunia, terhadap putusan hukum pengadilan Indonesia atas kasus penistaan agama yang dialami Ahok.
"Kita harus hormati putusan hukum yang berlaku di Indonesia. Di negara demokrasi mana pun pemerintah tidak bisa intervensi terhadap proses hukum," kata Arrmanatha Nasir.
Menurut Arrmanatha, pemerintah Indonesia tidak memandang kepedulian atau keprihatinan dari dunia internasional, seperti dari Uni Eropa, terhadap kasus tersebut sebagai suatu tekanan terhadap Indonesia.
Selain Uni Eropa, sejumlah organisasi internasional menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pasca-vonis dua tahun penjara terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (9/5/2017) lalu.
Dewan HAM PBB untuk kawasan Asia berkicau di Twitter dengan menyatakan prihatin atas hukuman penjara terhadap Ahok atas dugaan penistaan agama Islam. Dewan HAM tersebut juga menyerukan kepada Indonesia untuk mengkaji ulang pasal penistaan agama yang ada dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Terpisah Amnesti Internasional juga menyatakan bahwa putusan itu bisa merusak reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara toleran.
Meresahkan
Aksi unjuk rasa yang kerap digelar oleh massa pendukung Ahok guna menuntut pembebasan Ahok dari vonis penjara selama 2 tahun, dinilai cukup meresahkan. Karena itu, berbagai kalangan meminta agar para 'Ahokers' untuk menghentikan aksi tersebut.
Menurut Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundangan MUI, Ikhsan Abdullah, aksi-aksi protes yang dilakukan pendukung gubernur non aktif DKI Jakarta tersebut dapat mengganggu suasana yang sudah damai di masyarakat. Terutama pasca penyelenggaraan Pilkada DKI 2017 "Tentu mengganggu kedamaian, kondusifitas negara," kata Abdullah.
Selain itu, Presiden Gerakan Pribumi Indonesia (Geprindo) Bastian P Simanjuntak, menilai, maraknya aksi diseluruh Indonesia dengan tuntutan agar Ahok dibebaskan dari vonis 2 tahun penjara sudah sangat meresahkan masyarakat. Bahkan, kata dia, aksi Ahokers tersebut beberapa kali melakukan tindakan anarkis dan pelanggaran hukum.
Ia mengungkapkan, yang sangat disesalkan adalah adanya tindakan penyanderaan terhadap staf pengadilan. Terakhir, kata dia melalui pesan singkat di Jakarta, Minggu (14/5/2017), adanya demo penolakan rombongan wakil ketua DPR Fahri Hamzah dengan membawa senjata tajam.
Dirinya menilai, pihak kepolisian tampak tak serius dalam menangani pelanggaran-pelanggaran itu, bahkan, cenderung membiarkan. Bastian menduga, dibalik aksi-aksi diberbagai daerah terdapat aktor intelektual yang menggerakkan sekaligus membiayainya.
Ia mendesak agar Polri segera mengaudit dana aksi yang kerap dilakukan diberbagai daerah tersebut. "Hal itu perlu dilakukan agar tidak muncul berbagai spekulasi dan polemik yang akan memperkeruh suasana. Polri juga harus menindak tegas korlap aksi yang melanggar aturan penyampaian aspirasi, baik yang terkait batas waktu, hari libur maupun yang membawa senjata tajam," terang dia.
Ia melihat, bila polri tak melakukan tindakan tegas, maka stigma bahwa Polri melakukan tebang pilih akan muncul di benak masyarakat. "Kita masih ingat ketika aksi 212 kemudian diaudit, dan aksi petani di Majalengka yang menolak Bandara Internasional ditangkap karena membawa ketapel dan senjata tajam," ungkap Bastian.
Stop Aksi
Adapun Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, meminta masyarakat menghentikan aksi-aksi simpatik yang digelar untuk Ahok.
"Setop ya cara bikin aksi-aksi simpatik. Saya sampaikan jangan sampai merugikan diri sendiri jangan sampai merugikan masyarakat," kata Djarot di Balaikota Jakarta, beberapa waktu lalu. [opinibangsa.id / htc]
[apikepol.com]