Neoliberalisme Ala Darmin-Mulyani Bisa Buat Jokowi Tersungkur jika Nyapres 2019








Presiden Jokowi bakal kalah dalam laga Pilpres 2019, karena melanggar Nawacita dan Trisakti yang digadang-gadangkan. Kekalahan yang bakal dipikulnya itu, karena Jokowi menganut neoliberalisme ala Darmin-Sri Mulyani, yang kemudian mencampakkan Nawacitanya sendiri.
Apalagi, Jokowi sering diingatkan berkali-kali soal garis kebijakan ekonomi neoliberal di Indonesia, yang tak akan mampu menciptakan kebangkitan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan pengetatan anggaran, tarik subsidi dan membabi buta mengejar pajak demi menutup cicilan bayar utang pun menjadi tolak ukur bahwa kebijakan ala Darmin-Mulyani bisa membuat Jokowi tersungkur. Cara pandang kebijakan ekonomi Bank Dunia itu hanya menyenangkan kreditor-kreditor asing, yang akhirnya membuat bangsa “buntung” dan “sesak napas” akibat kebijakan ala Sri Mulyani tersebut.
Terlebih, sejak tahun 1960-an akhir, ekonomi Indonesia dikebiri oleh kebijakan neoliberal yang mulai diterapkan dan akhirnya membuat bangsa ini kembang kempis begitu-begitu saja. Tragisnya lagi, kebijakan tersebut sekarang dilanjutkan diera yang katanya menggaungkan Tri Sakti dan Nawacita.
Padahal dulu pendapatan per kapita negara-negara Asia sama-sama di bawah 100 dollar AS. Misal seperti China, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand termasuk Indonesia. Tetapi setelah perjalanan 50 tahun, pendapatan per-kapita negara-negara tersebut jauh melenggang jauh ‘membokongi’ Indonesia.
Korea Selatan misalnya, pendapatan perkapitanya melesat ke 35.000 dollar AS. Sedangkan yang lain juga melesat mencapai 15.000 dollar AS. Tapi buruk bagi Indonesia, karena hanya mengantongi 3.500 dollar AS per-kapita. Maka jangan heran jika bangsa Indonesia terus ‘terasapi’ dari negara-negara tetangga Asia lainnya.
Penghargaan “Menteri Keuangan” terbaik se Asia yang tersemat di Sri Mulyani tak berbanding lurus dengan kebangkitan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sementara negara-negara Asia lainnya bisa bangkit walau menteri keuangannya tak mendapat sanjungan “menteri keuangan terbaik”.
Karena ekonomi “kembang kempis” ini lah akibat kebijakan Sri Mulyani selaku menkeu, yang mengetatkan anggaran dan panik kejar target pajak. Lebaran kali ini saja misalnya, rata-rata pedagang kecil mengeluh, “penjualan” di tanah abang misalnya hanya 30 persen. Semua rata di blok A, B dan F penjualan merosot rata-rata pedagang hanya mengantongi 50-70 persen.
Barang-barang jualan mereka terpaksa digudangkan akibat loyonya daya beli masyarakat. Ekonomi lemes, pertumbuhan ekonomi stagnan, ketimpangan ekonomi tinggi, belum lagi gempuran barang-barang dari China yang akhirnya bikin terpuruk Indonesia. Kondisi yang berulang setiap tahun di basis-basis ekonomi rakyat.

Penjualan Avgas juga merosot jauh dibanding 2016. Pengusaha kelas menengah seperti outlet Seven Eleven malahan gulung tikar. Janji-janji Sri Mulyani perbaiki ekonomi hanyalah retorika semata. Indeks Pembangungan Manusia dalam posisi biasa-biasa saja, IPM yang diukur berdasarkan kecukupan gizi masyarakat, makanan, pendidikan, kesehatan, hingga akses terhadap air bersih.

Indonesia hanya menempati urutan ke 133 dari 188 negara dan wilayah (2015), kisaran urutan IPM yang begitu-begitu terus dan menyedihkan dibawah cenkeraman ekonomi neoliberalisme.
sumber : aktual


[M.Bersatu/apik.apikepol.com]

“Jika engkau punya teman – yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah- maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Karena mencari teman -‘baik’ itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali” [Imam Syafi'i]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: