Bohong Yang Mengalahkan Pinokio
Oleh: Edy Mulyadi*
JOKO Widodo itu orang sederhana. Setidaknya, begitulah persepsi dan opini yang telah dan terus dibangun.
Sejak mengadu peruntungan di Pilgub DKI 2012 silam, mantan tukang mebel dari Solo ini dipermak habis-habisan. Upaya serupa dilanjutkan ketika lelaki gemar memelihara kodok ini maju pada Pilpres 2014.
Polesan sebagai lelaki sederhana benar-benar digarap amat serius. Maka di setiap sudut strategis Ibukota, terpampang baliho bergambar Widodo berkemeja putih yang lengannya digulung sebagian, bercelana dan sepatu hitam. Masing-masing benda itu dilengkapi keterangan harganya yang terbilang cukup murah. Bahkan, lengannya yang tidak memakai jam tangan pun diberi penjelasan yang menunjukkan betapa sederhananya lelaki ini. Pendeknya, dipermak habis gitu, lah.
Sukses? Ya, sepertinya begitu. Tim/konsultan komunikasi dan politik pria yang dulu ketika ditanya soal mencapresan doyan berkata "copras capres, ora mikir, ora mikir" ini sepertinya berjaya. Rakyat yang bak tersihir merasa menemukan sosok birokrat unik yang sama sekali berbeda dengan profil pejabat pada umumnya. Sederhana, jujur, merakyat, hobi bluskan, dan seterusnya dan seterusnya. Widodo pun berhasil menyingkirkan Prabowo Subianto, rivalnya dalam Pilpres 2014.
Widodo adalah orang baik. Setidaknya, begitulah opini dan persepsi yang dijejalkan ke benak rakyat Indonesia. Salah satu ciri orang baik adalah jujur, tidak (hobi) berbohong. Sampai di sini, rasanya publik mulai menemukan hal berbeda. Celakanya, rakyat disuguhkan fakta-fakta yang justru bertabrakan dengan citra jujur tadi.
Ingatan rakyat Indonesia, bisa jadi, memang terbilang pendek. Namun untuk sekadar mengenang janji Capres petahana 2019 yang oleh pendukungnya di Jawa Timur dijuluki Cak Jancuk, tentang tidak akan impor pangan, tentu bukan perkara sulit. Pada debat Capres 2014, Jancuk dengan gagah berjanji kalau terpilih sebagai Presiden, dia akan menyetop impor beras, gula, jagung, kedelai, buah-buahan, garam, daging, dan lainnya. Alasannya, Indonesia punya. Banyak!
Tapi dalam empat tahun lebih perjalanan kekuasannya, semua janji tadi itu ditabrak habis-habisan. Hebatnya lagi, impor justru dilakukan saat petani tengah panen raya. Tak pelak lagi, petani menjerit, beban hidup kian menghimpit. Widodo telah berbohong!
Saat kampanye Capres 2014, Jancuk juga berkata kalau terpilih jadi Presiden, dia akan stop utang luar negeri. Lagi-lagi yang terjadi justru sebaliknya. Hanya dalam tempo kurang dari empat tahun, dia telah menimbun utang Rp1.600 triliun lebih. Rekor utang terbesar dalam terpendek! Cak Jancuk bohong!
Bohong dan kebohongan sepertinya menjadi bagian dari ritme hidup lelaki yang satu ini. Masih segar dalam ingatan, bagaimana pada debat Capres Kedua 17 Februari silam, Jancuk mengguyur forum dengan bohong dan kebohongan. Ucapannya tentang jam 12 malam hanya berdua dengan supir ke perkampungan nelayan di Tambak Lorok, Semarang, jelas sebuah kebohongan. Bagaimana mungkin Presiden malam hari hanya pergi berdua dengan sopir? Lalu, pada ke mana Paspampres pada waktu itu? Pensiun berjamaah?
Presiden Republik Indonesia yang berkali-kali disebut Ketum PDIP Megawati sebagai petugas partai itu juga mengatakan, dalam masa kekuasaannya tidak terjadi kebakaran hutan. Ini juga kebohongan yang sangat keterlaluan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut pada 2016 terdapat kebakaran hutan seluas 14.604,84 hektare. Setahun berikutnya ada 11.127,49 hektar hutan ludes terbakar. Lalu, 2018 terjadi kebakaran seluas 4.666,39 hektare.
Menyikapi kebohongan soal kebakaran hutan tadi hanya dalam hitungan menit jagad sosial media dijejali aneka bantahan, lengkap dengan datanya. Seperti belum cukup, grup-grup whatsApp juga dibanjiri foto-foto Jancuk tengah berada di lokasi hutan yang baru saja terbakar.
Taburan kebohongan juga terjadi saat dia mengatakan nyaris tidak ada konflik agraria saat dia berkuasa. Ini terjadi karena Pemerintah memberi ganti untung kepada rakyat atas lahan yang dipakai tiap proyek. Faktanya, di hampir setiap lokasi lahan rakyat yang dipakai proyek pembangunan terjadi konflik yang berujung jatuhnya korban tewas dan luka-luka. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada 2018 mencatat luas wilayah yang mengalami konflik agraria mencapai 807.170 hektare.
Daftar kebohongan cak Jancuk lain yang berhamburan malam itu, antara lain soal data impor jagung yang katanya turun tinggal 180.000 ton. Faktanya Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pada 2018 impor Jagung mencapai 737.220 ton. Begitu pula dengan data prorduksi sawit. Widodo telah berbohong dengan mengatakan 46 juta ton. Padahal, faktanya cuma 34,5 juta ton.
Lelaki yang hobi berswafoto di lokasi bencana ini juga menyebar hoax dengan mengklaim telah membangun 191.000 kilometer jalan desa. Klaim ini jelas superngawur dan tidak mungkin terjadi. Hitung-hitungannya begini; panjang jalan desa 191.000 km dibagi 4 Tahun sama dengan 47.050 kilometer per tahun. Itu artinya, 3.979 kilometer per bulan alias 132 kilometer per hari. Dibagi 24 jam, Jancuk mengklaim membangun jalan desa 5,5 kilometer per jam atau 91,6 meter per menit atawa 1,5 meter per detik.
Silakan perhatikan angka-angka tersebut. Akal waras mana yang bisa menerima klaim-klaim khayalan seperti itu? Bahkan dalam dongeng Bandung Bondowoso yang konon mampu membangun 1.000 candi dalam semalam pun, klaim super ngawur itu tidak terjadi.
Bohong jelas bukan perbuatan baik. Pelakunya tidak bisa disebut orang baik. Apalagi kalau bohong menjadi hobi dan keseharian, tentu yang bersangkutan bukan saja
sama sekali bukan orang baik, tapi juga orang yang berbahaya.
Sayangnya, rakyat Indonesia belum (bisa) membedakan antara bohong privat dan bohong publik. Kalau seorang suami membohongi istrinya, maka itu adalah bohong privat. Yang dirugikan cuma istrinya. Kalau pun mau ditambah, paling hanya anak-anaknya.
Tapi, jika bohong dilakukan oleh pejabat publik apalagi seorang Presiden, maka ini adalah kebohongan publik. Yang dirugikan adalah rakyatnya. Ketika (calon) Presiden mengatakan tidak akan impor beras, maka petani bersemangat menanam padi. Tapi apa lacur, saat panen raya tiba, justru terjadi impor beras besar-besaran. Akibatnya, petani menjadi korban. Jumlahnya bukan satu-dua, tapi jutaan bahkan belasan juta petani menjadi korban.
Semestinya, rakyat Indonesia membedakan antara kebohongan privat dan kebohongan publik. Di negara-negara maju, standar kebohongan yang mereka terapkan sudah tinggi. Rakyat Amerika, misalnya, bisa memaklumi ketika Clinton yang mengaku berselingkuh dengan pegawai magang Gedung Putih, Monica. Dia pun lolos dari impeachment. Tapi, Presiden Nixon terjungkal digulung skandal Water Gate karena dia terbukti berbohong.
Bohong sekali adalah kekhilafan. Tapi bohong berkali-kali adalah habit dan karakter. Ada mountain of lies, gunung kebohongan. Dalam dongeng Pinokio, hidung boneka kayu yang hidup itu bertambah panjang tiap kali dia berbohong. Tapi, bohongnya Pinikio adalah bohong privat, bahkan bohongnya kanak-kanak. Jadi, jelas Pinokio pun masih kalah. Saya tidak berani membayangkan kalau dongeng itu benar-benar terjadi. Entah berapa meter panjangnya hidung orang ini jadinya.
Bohong adalah perbuatan tercela. Bahkan Rasulullah SAW menyebut bohong sebagai bagian dari satu dari tiga ciri munafik. Dua yang lainnya adalah jika berjanji dia ingkar dan bila dipercaya dia khianat.
Orang baik bukanlah pembohong. Orang jujur bukan pembohong. Cak Jancuk berkali-kali berbohong dan menebar kebohongan. Jadi, pada titik ini dia bukanlah orang baik. Indonesia memang membutuhkan Presiden yang mengerti persoalan dan mampu menyelesaikannya dengan tepat dan cepat. Tapi yang tidak kalah pentingnya, Indonesia butuh Presiden jujur, bukan pembohong!
*) Penulis adalah wartawan senior