Di MRT, Jokowi Kehilangan Simpati



SAAT ini, warga Jabodetabek sudah bisa menikmati transportasi publik Mode Raya Terpadu (MRT). 

Cukup 30 menit dari Lebak Bulus ke Bundaran HI. Kalau pakai mobil, bisa 1,5 jam. Hemat 1 jam. Lumayan, pakai banget.

Uji coba gratis MRT sudah dibuka tanggal 12-23 maret. Diperpanjang lagi gratisnya hingga 31 Maret. Baru tanggal 1 April nanti bayar. Tentu atas izin dan keputusan Anies Rasyid Baswedan, gubernur DKI. Jokowi "dihaturi" untuk ikut uji coba. Selaku kepala negara, sekaligus sebagai mantan gubernur DKI. Bahkan Anies pun memberi panggung kepada Jokowi untuk meresmikannya.

 Sebuah bentuk "tatakrama" kapada seorang presiden dan mantan gubernur DKI 2012-2014. Mengingat MRT adalah proyek strategis nasional.

Jadi panggung capres nomor 01 dong? Anies nggak ada urusannya dengan Pilpres. Kerja sesuai schedule yang beberapa tahun sebelumnya sudah ditetapkan. Mungkin sebelum jadwal Pilpres ada. Disiplin dan komitmen mesti jadi prinsip seorang pejabat negara bekerja. Tak boleh terkontaminasi oleh kepentingan politik.

Usai uji coba, Jokowi dikerubuti sejumlah penumpang. Pak Jokowi...Pak Jokowi... Teriak mereka. Tak diketahui identas orang-orang yang teriak itu. Spontan atau dipersiapkan. Menarik untuk diketahui siapa mereka. Kok? Biasanya nggak seperti itu. Seringnya, kalau Jokowi dan Anies jalan bareng, teriakan yang sering keluar adalah Pak Anies...Pak Anies... Kali ini beda. Wajar kalau orang pada nanya: nggak seperti biasanya? 

Lalu selfie. Biasa, seperti yang publik sering lihat. Soal ini Pak Jokowi nggak mau ketinggalan. Punya hobi tersendiri. Selfie sudah jadi kegemaran presiden ke-7 ini.

Seperti dalam video yang viral, Anies tampak dicuekin. Ketika ditanya;  kok bapak dicuekin? Enggak. Biasa saja, jawab Anies. Tak ada protes. Nggak bilang: "akan saya lawan". Nggak juga. Seorang pemimpin sejati nggak boleh baper. Kata-katanya terukur. Mikir dulu sebelum bicara. Bukan bicara dulu baru mikir.

Di depan awak media, Jokowi meresmikan MRT. Dalam sambutannya Jokowi mengatakan bahwa MRT adalah keputusan politik dirinya bersama Ahok. Hah! Jokowi tak menyebut nama lain. Anies, yang "nyumangga-aken" atau memberi kesempatan dan penghormatan kepada Jokowi untuk meresmikan MRT, tak sekalipun disebut namanya sebagai orang yang ikut terlibat dalam proyek MRT. Apalagi gubernur-gubernur sebelumnya. Sutiyoso pun ikut hadir atas undangan Anies. Tak juga disebut namanya. Kok bisa? Bisa aja!



Jangan kaget. Itulah Pak Jokowi. Terlalu sibuk kerja kerja dan kerja. Sehingga lupa keringat orang lain. Yang diingat adalah kerja dan keringatnya sendiri. Bagus. Itu namnya fokus. Kerja memang harus fokus. Dan fokus Pak Jokowi seringkali hanya pada diri sendiri. Kurang terbiasa, dan mungkin tak sempat melihat kerja orang lain. Apalagi membaca gagasan dan rencana orang lain. Gak ada waktu. Sudah terbiasa fokus.

Beda Jokowi, beda Anies. Jangan dibandingkan. Keduanya punya fokus yang berbeda. Mungkin peradabannya juga berbeda. 

Dalam sambutannya, Anies mengatakan "izinkan kami mengucapkan terima kasih kepada para gubernur-gubernur sebelumnya yang ikut mengawal dan mendorong proses MRT ini." 

Kata "kami" saya kasih tanda untuk menunjukkan kelas peradaban dan adabnya sendiri. Seorang pemimpin mesti sering-sering menggunakan kata "kami". Di situ ada pengakuan atas kerja bersama dan kebersamaan. Pemimpin tidak sendiri bekerja, tapi banyak pihak yang terlibat dalam gagasan, perencanaan hingga pekerjaan. Itulah 'kelas peradaban" seorang pemimpin.

Anies lalu menyebut satu persatu nama gubernur sebelumnya, Pak Sutiyoso, Pak Fauzi Bowo, Pak Jokowi, Pak Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Ketika nama BTP disebut, para pengunjung teriak Ahok...Ahok...Ahok... Dan Anies pun terdiam sejenak dengan tetap menjaga senyumnya. Reda, lalu Anies menyebut Djarot Saeful Hidayat.

Terjawab sudah siapa para pengunjung itu. Ahokers dan para pendukung Jokowi. Teriakan Ahok seolah jadi jawaban atas dugaan itu. Tentu, tak ada yang salah. Biasa aja.

Wajar jika sebelumnya publik bertanya: kenapa nama Jokowi dan Ahok bergema disitu. Tapi, ya sudahlah. Namanya juga tahun politik. Apalagi beberapa hari lagi ada Pemilihan Presiden. Apa saja bisa dimanfaatkan jadi panggung politik.

Anies tetap sebut Djarot, meski yang bersangkutan memilih "plesiran" bersama keluarga daripada hadir dalam serah terima jabatan gubernur DKI. Diserahkan ke sekda yang dipasarahi jabatan gubernur hanya untuk satu malam sebelum jabatan itu diterima Anies. Lagi-lagi, seperti itulah seharusnya peradaban yang dibangun seorang pemimpin.



Karena sikap dan karakter beradabnya ini orang sering memanggil Anies Gubernur Indonesia. Gubernur rasa presiden. Malah ada yang mengira Anies adalah presiden Indonesia. Sepertinya itu adalah harapan dan doa.

Jelang Pilpres, MRT seperti yang diduga banyak pihak sebelumnya, akan dijadikan barang jualan oleh Jokowi. Ternyata benar. Dan itu sah-sah saja. Karena Jokowi punya andil dalam proyek MRT ini. Hanya saja kurang cerdas. Dengan mengakui seolah itu hanya karya Jokowi-Ahok, justru Jokowi kehilangan simpati dari rakyat. 

Sehari setelah itu, tanggal 25 maret, Harian Kompas menurunkan tulisan bahwa MRT itu ide dan gagasan BJ. Habibie. Keputusan politik dan orang yang pertama kali memulai pekerjaan ini adalah Fauzi Bowo, gubernur DKI sebelum Jokowi. Nah...

Ini kronologi singkatnya. Tahun 2006, saat Sutiyoso gubernurnya, ada persetujuan pembiayaan dari gubernur Japan Bank For Internasional Corporation (JBIC) Kyosuke Sinozawa dan Dubes RI untuk Jepang Yusuf Anwar. 

2008 PT. MRT berdiri. Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo. 2010 design MRT dikerjakan. 2011 tender konstruksi dibuat. 

2012 groundbreaking MRT Lebak Bulus-HI. Ini masih di era Fauzi Bowo. Lalu di era Jokowi konstruksi MRT mulai dikerjakan. 2017-2018 era Gubernur Anies, finalisasi pembebasan lahan dilakukan. 2019 MRT dituntaskan oleh Anies dan diresmikan. 

Kalau saja Jokowi singgung ini, dan sebagai presiden ia mengucapkan terima kasih kepada Anies Baswedan dan gubernur-gubernur DKI sebelumnya, maka MRT akan jadi poin buat Jokowi. Sayangnya, kesempatan ini dimanfaatkan secara salah. 

Setidaknya, public communication Jokowi tak dikelola dengan baik. Akhirnya, malah blunder. Sayang sekali.

Ibarat dagangan, MRT itu barang bagus. Sayang, cara Jokowi menjual kurang bagus. Kualitas branded, dijual murah ala pasar tradisional. Apa yang kemudian terjadi? Tulisan Kompas justru jadi tamparan pedas buat elektabilitas Jokowi. 

Satu masalahnya: karena Jokowi kurang terbiasa mengakui prestasi orang lain. Di sinilah Jokowi seringkali kehilangan simpati.[]

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa [rmol]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :