Soal Cap Jempol di Amplop Serangan Fajar Bowo, Kenapa Tak Diungkap Sejak Awal?
GELORA.CO - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membeberkan soal cap jempol di amplop ‘serangan fajar’ Bowo Sidik Pangarso, Selasa (2/4/2019). Lembaga antirasuah itu disorot karena baru mengungkap fakta tersebut ke publik.
Bowo yang juga merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Golkar itu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (27/3/2019) malam lalu. Dalam OTT itu, diamankan barang bukti sebanyak 82 kardus berisi amplop berisi pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50.
Keesokan harinya, ketika anggota KPK, Basaria Panjaitan menggelar konfrensi pers, tidak disebutkan adanya cap jempol pada amplop tersebut. Meski sekilas terlihat tanda itu, lalu bergulir jadi kontroversi di publik.
Hal itulah yang menjadi sorotan Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak.
Melalui akun twitter-nya, Dahnil mempertanyakan sikap KPK yang baru mengungkapnya ke publik seminggu setelah OTT.
“Amplop Jempol untuk membeli suara pemilih. Kenapa bunda Basaria Panjaitan menolak membuka sejak awal? Tanya kenapa? Padahal itu SOP KPK ketika Konpres membuka semua barang bukti hasil OTT,” bunyi cuitan Dahnil.
Dalam keterangan persnya, kemarin, Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyebut, dari 82 kardus itu, tiga di antaranya sudah dibuka.
“Sampai dengan hari ini kami baru bisa menghitung kardus yang ketiga. Artinya masih ada sekitar 79 kardus lagi dan dua kontainer yang harus kami buka semuanya,” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di Gedung KPK, Kuningan Jakarta, Selasa (2/4).
Namun, ia menyebut jika stampel itu sejauh ini tidak terkait dengan simbolik salah satu kontestan Pilpres 2019. Fakta hukum masih diduga untuk kepentingan Bowo Sidik pada pencalonan legislatif Pileg 2019.
“Memang ada stampel atau cap-cap tertentu di amplop tersebut. Tapi sejauh ini fakta hukum yang ada itu masih terkait dengan kebutuhan pemilu legislatif,” kata Febri.
Febri menjelaskan, dari 82 kardus dan 2 kontainer amplop itu tidak ada tanda atau simbol nomor urut yang mengarah pada salah satu paslon tertentu.
“Tidak ada nomor urut. Yang ada adalah cap jempol di amplop tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut, Febri menjelaskan jika temuan ini membutuhkan waktu yang lama serta kehati-hatian. Ia pun berharap hal itu ak dikait-kaitkan KPK dengan politik praktis.
“Jadi KPK juga mengingatkan dan meminta semua pihak untuk tidak mengait-kaitkan KPK dengan isu politik praktis. Karena yang dilakukan adalah proses penegakan hukum,” demikian Febri.
Dalam kasus ini, Bowo ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti lewat orang kepercayaannya bernama Indung. Ketiga orang itu telah ditetapkan menjadi tersangka.
Bowo diduga menerima suap untuk membantu PT HTK kembali mendapat perjanjian penggunaan kapal-kapalnya untuk distribusi pupuk dari PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog). Bowo pun meminta imbalan sebesar USD 2 per metrik ton.
KPK menduga Bowo sudah menerima 7 kali suap dari Asty dengan total duit sekitar Rp 1,6 miliar. Jumlah itu terdiri dari Rp 89,4 juta yang diterima Bowo melalui Indung saat OTT dan 6 penerimaan sebelumnya yang disebut KPK sebesar Rp 221 juta dan USD 85.130.
Selain penerimaan uang dari Asty terkait distribusi pupuk itu, KPK menduga Bowo menerima gratifikasi dari pihak lain senilai Rp 6,5 miliar.[psid]