Jokowi Marah, Apa Benar Kondisi Ekonomi RI Sudah Parah?



GELORA.CO -  Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bosan-bosan meluapkan kekesalannya terhadap masalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Terbaru, CAD menjadi topik yang dibahas pada rapat terbatas (ratas) hari Rabu (19/6/2019) di Kantor Presiden.

Jokowi menekankan, ekspor dan investasi menjadi kunci utama memperbaiki defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang sudah menahun jadi penyakit ekonomi nasional.

"Sesuai keinginan saya sejak awal untuk terobosan di bidang investasi, ekspor dan perdagangan. Saya sudah berkali-kali sampaikan ekspor, investasi, kunci utama," tegas Jokowi.

Bila melihat kondisi Indonesia saat ini, agaknya memang wajar dan sudah semestinya Jokowi menaruh perhatian lebih pada upaya untuk memperbaiki kondisi transaksi berjalan. Pasalnya, melihat data-data indikator ekonomi Indonesia, kondisinya sudah cukup memprihatinkan.

Salah satu yang paling kentara adalah kinerja perdagangan barang luar negeri (ekspor-impor). 

Pada tahun 2018, Indonesia mencatat rekor baru, yaitu defisit neraca dagang tahunan paling dalam sepanjang sejarah Indonesia Raya sebesar US$ 8,7 miliar. Tak berhenti sampai di situ. Rekor baru, yaitu defisit neraca dagang bulanan terparah sepanjang sejarah kembali dicetak pada bulan April 2019, yang mana sebesar US$ 2,5 miliar.



Salah satu penyebab defisit yang kian dalam adalah ketidakmampuan berbagai industri di dalam negeri untuk menggenjot kinerja ekspor.

Tengok saja pertumbuhan ekspor sepanjang 2014-2016 yang selalu negatif alias berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan pada periode tersebut pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling kecil dibanding empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand).

Pun pada tahun 2017, di saat ekspor bisa terdongkrak akibat harga komoditas yang tinggi, pertumbuhannya juga tercatat paling kecil dibanding Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Beruntung kala itu ekspor Thailand sedang loyo sehingga Indonesia tak berada di posisi bontot.

Fluktuasi harga komoditas barang mentah merupakan salah satu dalang dibalik roller coaster kinerja ekspor Tanah Air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 30% ekspor Indonesia di tahun 2018 disumbang oleh batu bara dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Jelas saja kala harga dua komoditas tersebut anjlok di pasar global, ekspor Indonesia mendapat tekanan hebat.

Bahayanya, pertumbuhan industri pengolahan (manufaktur), yang merupakan jalan menuju perekonomian yang lebih kuat malah menunjukkan gejala-gejala perlambatan.



Pertumbuhan ekonomi di sektor industri pengolahan selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara total. Alhasil porsi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selalu berkurang dari tahun ke tahun sepanjang 2015-2019. Bahkan di tahun 2018 sudah berada di bawah 20%. Sebuah indikasi bahwa kegiatan usaha berbasis barang mentah di Indonesia berkembang lebih pesat dibanding gairah untuk mengolah menjadi barang jadi.


Investasi asing asing memang bisa menjadi solusi untuk menggenjot industri-industri dengan harapan pertumbuhan ekspor bisa ditingkatkan. Dengan adanya investasi, pembangunan pabrik-pabrik dapat segera terealisasi. Harapannya pertumbuhan industri bisa melaju lebih kencang.

Namun sayangnya, profil investasi asing di Indonesia cukup besar masuk pada sektor-sektor yang tidak berorientasi pada ekspor.

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang tahun 2018, tiga dari lima sektor dengan nilai investasi asing terbesar di Indonesia ada pada sektor-sektor yang tidak berorientasi ekspor, yaitu:
  • Utilitas (listrik, gas, dan sumber daya air)
  • Transportasi, Pergudangan, dan Telekomunikasi
  • Perumahan, properti, dan bangunan kantor
Alih-alih menggenjot ekspor, sektor-sektor tersebut pada waktunya akan menagih 'janji' investasi berupa deviden. Alhasil akan semakin banyak uang yang berhamburan ke luar negeri. Itu pun juga sudah mulai terasa saat ini. 

Di tahun 2018, total devisa yang keluar dalam pos pembayaran primer, dimana termasuk di dalamnya pembayaran deviden investasi asing, naik hingga 5,3% menjadi US$ 39,7 miliar.

Dalam hal ini pemerintah memang punya peran yang cukup penting. Dengan bauran kebijakan yang mumpuni, mereka bisa menjadi stimulus bagi gairah perekonomian.

Tindakan konkret perlu segera dilakukan oleh Jokowi dan pembantu-pembantunya. Karena bila tidak, arah perekonomian Indonesia akan terus menjadi pertanyaan. [cnbc]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :