Natsir Santri, Soekarno Juga






Umatuna.com - Moh Mahfud MD

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)

SAYA agak terperangah ketika Ahmad Basarah, Wasekjen PDI Perjuangan yang juga ketua fraksi partai tersebut di MPR mengatakan bahwa Soekarno alias Bung Karno, proklamator Indonesia yang melegenda itu adalah seorang santri.

Saya terperangah bukan karena tidak percaya, tetapi karena hampir tidak ada tokoh yang mengatakan Soekarno sebagai santri.

Basarah mengatakan itu saat mempertahankan disertasi doktornya, “Eksistensi Pancasila sebagai Tolok Ukur dalam Pengujian UU Terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi“ di Pendidikan Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro tanggal 10 Desember 2016 yang lalu.

Basarah menunjukkan kesantrian Soekarno itu dengan bukti bahwa sebagai muslim Soekarno itu adalah murid dan menantu HOS Tjokroamito, tokoh Islam pejuang kemerdekaan. Soekarno adalah juga muslim yang taat melaksanakan salat lima waktu, berpuasa di  bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, dan sebagainya.

Jika kita menggunakan kriteria yang dipakai oleh antropolog Clifford Geertz, maka dengan ketaatan beribadahnya itu Seokarno memang seorang muslim santri, bukan muslim abangan.

Di luar kriteria itu, Soekarno memang dapat dinilai sebagai pejuang dan pemikir muslim yang tangguh. Selain bisa berpolemik mengenai masalah-masalah mendasar tentang keislaman dengan tokoh-tokoh Islam lain seperti A Hassan dan M Natsir, sejak akhir 1930-an, Soekarno banyak menulis tentang upaya  memajukan Islam, agama yang dipeluknya.

Di antara tulisan-tulisan Soekarno yang beredar dalam satu dasawarsa menjelang kemerdekaan adalah tulisan-tulisannya di Majalah Panji Islam yang terbit di Medan seperti tulisan yang berjudul “Memudakan Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”, “Islam Sontoloyo”, dan sebagainya.

Bahkan dasar ideologi negara, Pancasila, yang oleh Soekarno dicetuskan pertama kali pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merupakan produk penggaliannya tentang pemikiran Islam setelah, antara lain, berpolemik mendalam dengan Natsir tentang hubungan antara negara dan agama.

Semula melalui tulisan-tulisannya itu Soekarno mengidamkan sebuah negara Indonesia yang sekuler, lepas dari masalah-masalah agama. Sebaliknya, demi kemajuan Islam dan ummat Islam, Natsir mengusulkan agar Indonesia yang sedang menyongsong kemerdekaannya saat itu didirikan sebagai negara berdasar Islam. Kedua pandangan tersebut menjadi aliran pemikiran (politik) dalam mendirikan dan membangun Indonesia.

Keduanya, Soekarno dan Natsir adalah sama-sama santri dan sama-sama ingin memajukan Islam, tetapi Soekarno ingin memisahkan agama dari negara sedangkan Natsir ingin agama menjadi dasar negara.

Dalam mengemukakan argumen Natsir juga banyak menulis untuk membanding pendapat Soekarno seperti tulisan-tulisannya yang berjudul "Cinta Agama dan Tanah Air", "Ichwanus Shafa", "Rasionalisme dalam Islam", "Islam dan Akal Merdeka", "Persatuan Agama dengan Negara, "Arti Agama dalam Negara".

Dalam satu tulisan yang disiapkan untuk menyambut peringatan Setengah Abad Dewan Dakwan Islamiyah atau DDII (1967-2017), saya mengatakan tanpa ragu bahwa Pancasila sebagai dasar ideologi negara bisa dilihat sebagai bagian dari muara polemik antara Soekarno dan Natsir. (sindonews) [Ummatuna/Apikepol]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: