GNPF-MUI Terima Vonis Ahok Meski Tak Sesuai Harapan






Umatuna.com - Keputusan majelis hakim yang memvonis Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 2 tahun penjara, tidak sesuai dengan harapan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), yang berharap Ahok dipenjara 5 tahun.

Begitu disampaikan anggota Tim Advokasi GNPF-MUI, Kapitra Ampera, dalam Konferensi Pers terkait putusan vonis Ahok di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (10/5).

"Meskipun putusan itu tidak memenuhi ekspektasi kami, tapi kami dapat menerimanya dan menghormati sebagai suatu putusan yang final," kata Kapitra.

Menurutnya, vonis Ahok merupakan yang terbaik, yang diturunkan Allah SWT melalui tangan-tangan hakim. Dia menilai hal itu merupakan realitas kegamaan dan realitas hukum yang sesungguhnya.

Dijelaskan, pihaknya menerima putusan itu meskipun tidak memenuhi harapan, dengan alasan hukum yang benar.

"Kami melihat ada 4 run way hukum yang absolut sebagai syarat dikeluarkan keputusan hakim," ujarnya.

Pertama, hakim telah putus perkara Ahok yang berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), bukan atas tuntutan JPU.

"Ini adalah yurisprudensi MA nomor 47/KR/1956 tanggal 23 Maret 1957 dan yuripudensi no 68 K/kr/1973. Yang perintahkan bahwa hakim dalam ambil putusan harus didasarkan pada dakwaan. Itu alasan pertama kami terima dan apresiasi hakim," terangnya.

Kedua, lanjut dia, hakim telah mengambil keputusan berdasarkan fakta di persidangan, bukan berdasarkan fakta diluar persidangan. 40 saksi JPU dan 10 saksi terdakwa tidak satupun dari mereka yang bilang bahwa ada dugaan penodaan golongan, tetapi seluruhnya saksi dan alat bukti lainnya semuanya menjelaskan dan menyatakan Ahok telah menoda agama Islam. Sementara dari kesaksian yang diajukan terdakwa, mereka bilang tidak ada penodaan agama.

"Hakim melihat realitas ini dan memutuskannya berdasarkan fakta real dan akurat berdasarkan argumentasi hukum dan yurispudensi hukum sehingga fakta persidangan jadi valid dan akurat," ungkapnya.

"Ini sesuai dengan pasal 6 ayat 2 UU 48 thn 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan pasal 183 KUHAP," tambahnya.

Yang ketiga, lanjut Kapitra, hakim mengambil keputusan sesuai rasa keadilan di masyarakat, baik yang kontra maupun yang pro sehingga ini sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU 48 tahun 2009.

"Yang paling penting keempat adalah hakim telah memutus perkara ini secara imparsial, independen tanpa intervensi dari siapapun dalam bentuk apapun, termasuk oleh diri hakim itu sendiri," tuturnya.

Dari hal tersebut, menurut dia, hakim telah menjalankan pasal 3 UU 48 tahun 2009.

Dia menambahkan, berdasarkan empat runway ini, untuk itu tidak ada alasan bagi GNPF-MUI untuk tidak menerimanya.

"Jumlah berapa tahun yang dibacakan tidaklah jadi domain kami, domaiitn masyarakat dan domain kekuasaan. Kita boleh punya harapan tapi hakim juga punya hak dan kewajiban untuk mempertimbangkan hal-hal yang ringankan dan beratkan untuk buat keputusan," tandasnya. (rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: