Mahfudz Siddiq: Aksi Dukung Ahok Dagelan Memprihatinkan
Mahfudz Siddiq: Aksi Dukung Ahok Dagelan Memprihatinkan
Opini Bangsa - Anggota DPR dari PKS, Mahfudz Siddiq, menghargai kesibukan Presiden Jokowi dengan agenda pemerintahannya di dalam dan luar negeri. Rakyat harus mendukung kesuksesannya.
Namun, menurut Mahfudz, semua pihak perlu membisikkan kepada Jokowi akan apa yang sedang terjadi di antara bangsa ini. Khususnya setelah Pilkada DKI dan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas kasus Ahok.
"Beberapa hari ini ramai aksi jalanan dari pendukung Ahok. Mereka bicara tentang isu besar dan ideologis atas nama kasus Ahok," kata Mahfudz kepada VIVA.co.id, Minggu, 14 Mei 2017.
Mahfudz menyampaikan bahwa Ahok tidak identik dengan NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Ahok hanya salah seorang WNI dengan hak dan kewajiban sama dengan warga lainnya.
"Pro Ahok bukan berarti pro-NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan anti-Ahok bukan berarti anti-NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," kata dia.
Bahkan dia mengatakan, dan ini yang dibuktikan oleh pengadilan, ucapan Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah 51 yang justru menempatkan Ahok sebagai orang yang telah mengganggu NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Jadi upaya para pendukung Ahok yang dirancang di berbagai kota di Indonesia dan juga di beberapa kota di luar negeri untuk menuntut pembebasan Ahok dengan mengusung tema #SaveNKRI #SavePancasila #SaveBhinnekaTunggalIka atau sejenisnya adalah dagelan yang memprihatinkan," tuturnya.
Game is over
Mahfudz mengingatkan bahwa Pilkada DKI sudah usai. KPU sebagai lembaga yang punya otoritas sudah keluarkan putusan.
"Kita semua harus terima dan game is over. Pengadilan kasus penistaan agama oleh Ahok telah diputus oleh PN Jakpus yang punya otoritas. Kita harus terima dan game is over," kata Mahfudz.
Kalaupun masih ada yang tidak bisa terima, lanjut dia, peraturan perundang-undangan menyiapkan mekanismenya. Untuk gugatan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Untuk banding proses pengadilan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
"Jadi demo, petisi, pemberian jaminan, dan manuver-manuver politik lainnya bukanlah mekanisme yang dikenal dan diatur oleh sistem hukum kita. Dan semua aksi dan manuver politik ini tidak perlu dilabelkan dengan silent majority," kata dia.
Mahfudz menambahkan semua pihak dan terkhusus Presiden Jokowi sebagai kepala negara mesti awas dan mawas bahwa aksi dan manuver politik yang terjadi usai Pilkada DKI dan vonis PN Jakut akan menjadi tabuhan genderang konflik dan perpecahan yang terbuka di republik ini. Karena, sudah ada bungkus ideologis, yaitu NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Apakah di era pemerintahan Presiden Jokowi kita semua akan menyaksikan malapetaka ini? Tentu saja jangan. Apakah atas nama Ahok kita akan biarkan bangsa ini porak-poranda? Tentu saja tidak," katanya.
Maka dalam situasi seperti ini, dia berpandangan negara dan pemerintah tidak boleh memposisikan diri sebagai para pihak yang ikut konflik. Menurutnya, negara harus jadi tempat bernaung dan berlindung semua warga, dan pemerintah harus menjadi penengah dan penegak hukum yang adil.
"Dan yang bisa memastikan hal ini adalah Presiden RI, yaitu Joko Widodo. Mandat dan wewenang untuk melakukan ini ada di tangan presiden sekarang.
Seorang Joko Widodo akan dikenal dan dikenang seperti apa, akan ditentukan oleh tindakan dan keputusan politik apa yang akan diambilnya," demikian Mahfudz Siddiq. [opinibangsa.id / nvc]
[apikepol.com]