Tekanan Akan Berbalik Pada Tito Karnavian
Tekanan Akan Berbalik Pada Tito Karnavian
Opini Bangsa - Ada dua sudut pandang bagaimana mengira-ngira kemungkinan tekanan psikologis Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai Kapolri dalam konstelasi politik pasca 9 Mei 2017, yaitu dari perspektif media arus utama dan media sosial.
Jika melihat pada yang pertama, maka Kapolri terlihat baik-baik saja dan kalimat “aspek yuridis” seperti yang diungkapkannya pada bocoran video di suatu acara bersama “silent majority”, akan selalu tampak ditegakkannya meskipun terkesan ditujukan pada figur yang itu-itu saja.
Tentunya penampilan seperti itu diharapkan mendapat sambutan luas dari seluruh masyarakat, meskipun ternyata hanya sebagian tertentu saja.
Sebaliknya jika melihat kondisi Kapolri pada perspektif kedua, pada media sosial yang selalu saya sebut “jatuh utuh ke tangan Umat Islam”, keadaan Kapolri sama sekali tidak baik-baik saja.
Polisi seolah mati gaya dalam menjelaskan perlakuan berbeda antara Aksi Bela Islam dan Aksi Bela Ahok yang sangat jelas didukung oleh bukti-bukti visual, belum lagi masalah lainnya yang tidak kunjung reda menimpa kepolisian.
Munculnya video 16 menit berjudul “Fitnah Mesum Rekayasa Polisi???” yang menerangkan secara rinci logika hukum yang kini sedang dipaksakan pada Habib Rizieq Shihab atas tuduhan perselingkuhan, sudah mencerminkan bagaimana di lini tersebut sedang dilakukan perlawanan besar terhadap dugaan rekayasa fitnah dengan senjata berupa “logika hukum” dengan amunisi yang ditembakkan secara serentak oleh para ahli hukum, ahli IT, politikus dan pengamat.
Gempuran habis yang tidak membuat Kapori nyaman sebab logika hukum itu terus menantang logika versi Polri yang jika pada perspektif media sosial, jauh dari meyakinkan untuk diterima akal sehat.
Kegelisahan pada Kapolri juga selayaknya ditambah dengan dimunculkannya kembali secara meluas video ancaman dari “anonymous” yang menaruh perhatian besar sebab pihak misterius ini “dibawa-bawa” sebagai “pembocor” bukti perselingkuhan tersebut yang ternyata dibantahnya.
Beredarnya percakapan yang diduga antara Kapolri dan Kombes Argo Yuwono, mengindikasikan bahwa kata “anonymous” lumayan mengganggu apalagi percakapan itu juga mengindikasikan bahwa rekayasa besar sedang dilakukan oleh kepolisian! Bukankah itu adalah suatu penambahan tekanan bagi Kapolri?
Anonymous adalah jenius internasional, yang bukan tidak mungkin menjadi lawan main lembaga-lembaga keamanan dan intelijen dunia yang moncong laras panjangnya perlahan mengarah pada Indonesia. Umat Islam mungkin akan senang-senang saja seolah ini bonus bantuan yang datang dari “dunia lain”.
Sebagian pihak pasti akan mendorong moncong meriam itu mengeluarkan proyektil senyap yang membunuh banyak sistem informasi yang bisa menanggung kerugian besar dan menyebabkan kekacauan keamanan berbagai sektor atau membuka perang hacker seperti yang pernah terjadi antara Indonesia dengan Australia beberapa tahun silam, itu pun jika seluruh hacker garis lurus
Indonesia mau turun tangan, jika tidak? Apalagi karena sudah punya pandangan politik? Lagi pula belum tentu mereka mau menghadapi kelompok bertopeng ini apalagi bagian dari anonymous sendiri ada yang beredar di Indonesia entah siapapun itu.
Jangan pernah mengabaikan resiko ancaman di sektor IT dalam konstelasi politik sebab skala akibatnya bisa lebih besar dari “rush money”! Bukti adanya Undang-Undang IT di setiap negara adalah karena besarnya kerugian yang bisa ditimbulkan oleh kesalahan, pelanggaran dan serangan IT.
Video 16 menit ini juga seharusnya membuat Kapolri merasa tidak enak jika karangan isu bahwa TNI ingin melakukan kudeta dapat diindikasikan benar. Ini adalah tuduhan yang sangat sensitif dan membuat pihak terkait TNI dan masyarakat pendukungnya menjadi perlu bereaksi karena ini adalah tindakan melampaui batas apalagi jika karangan isu ini kemudian selaras dengan pihak-pihak yang menghendaki TNI menjauh dari garis Umat Islam dengan mengangkat bendera yang berarti Panglima TNI berada dalam posisi “off side”! Pihak TNI harus menginvestigasi karangan isu ini!
Jangan pernah memicu chaos dengan memanfaatkan celah TNI yang ketaatannya pada konstitusi bukan berarti kelemahannya.
Mereka adalah institusi bersenjata yang paling terlatih di negara ini dengan reputasi internasionalnya. TNI kian didukung dan diharapkan oleh rakyat ketika kekacauan-kekacauan kian melebar.
Lihat peristiwa 18 Mei 2017 di Makassar, aksi mahasiswa di sana menghendaki TNI mengambil alih pemerintahan! Saya rasa itu pernyataan yang jarang atau mungkin yang pertamakalinya sejak Jenderal TNI Soeharto “mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu” di Republik ini pada tahun 1966.
Tuntutan ini adalah suatu bukti bahwa Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dengan sendirinya dikehendaki oleh rakyat untuk mengambil alih pemerintahan. Bukankah ini juga berarti suatu tekanan dan serangan memalukan bagi Kapolri?
Dari perspektif kedua, media sosial, Kapolri sudah dicitrakan sebagai musuh Umat Islam, sejenak malah lebih dari serangan kekecewaan pada Presiden Joko Widodo. Sedangkan di perspektif pertama, media arus utama, Habib Rizieq Shihab adalah sasaran dari citra negatif yang ditelan mentah-mentah oleh golongan tertentu tanpa berusaha secara rinci dan logis memperkuat bahwa tuduhan itu benar.
Sekiranya dari berbagai permasalahan dengan segala bukti yang telah dilakukan Kapolri dan institusinya lalu dipelihara oleh Umat Islam, maka selayaknya tekanan itu akan berbalik pada Kapolri sendiri sebab telah dan akan selalu direspons oleh beberapa pihak dari Ulama, masyararakat, aktivis, politikus, tokoh nasional, mantan pejabat tinggi, anggota parlemen dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa menahan diri untuk bersikap sebagai upaya pembelaan.
Tentunya perspektif kedualah yang akhirnya akan menjadi ukuran konstelasi politik di negara ini dan sayangnya, ukuran itu justru dilihat dari skala kegagalan hukum dan seberapa jauh Kapolri dan institusinya bertindak salah!
Oleh : Fahmi M.S Kartari
[opinibangsa.id / ngi]
[apikepol.com]