Harga Garam Melonjak, Nelayan Merasa Tercekik






Umatuna.com - Melonjaknya harga garam sampai Rp 4.000 per kilogram dalam beberapa hari terakhir dianggap tidak berdampak positif pada para petani garam. Sebaliknya, kenaikan tersebut malah membuat para nelayan tercekik.

"Tentu, dengan kenaikan yang terlalu tinggi di pasar, tidak ada pengaruh bagi petani. Sebab, mereka tidak sedang produksi. Perbaikan tata niaga dan keberpihakan kepada petani garam harus dilakukan pemerintah,” ucap Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron kepada wartawan, Jumat (21/7).

Menurut Herman, UU 7/2016 telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melindungi petani garam. Sebab, para petani garam adalah pihak yang paling rentan oleh permainan para tengkulak.

Kembali ke soal kenaikan harga, Herman menyatakan hal tersebut akan sangat memberatkan nelayan. Kenaikan tersebut membuat biaya produksi nelayan untuk membuat ikan asin, teri, pindang, dan yang lainnya akan semakin mahal. Karena itu, Herman berharap pemerintah segera bergerak untuk mengatasi kenaikan ini.

Kebutuhan garam untuk dalam negeri cukup banyak. Totalnya sekitar 4,2 juta ton per tahun. Rinciannya, sebanyak 1,7 juta ton untuk kebutuhan konsumsi dan 2,5 juta ton untuk kebutuhan industri.

Kata Herman, garam sebenarnya komoditas yang stabil di pasar. “Namun, dengan curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini, membuat bahan baku garam kurang,” terang politisi Demokrat ini.

Untuk meningkatkan produksi garam, lanjut Herman, pemerintah sudah melaksanakan beberapa kebijakan. Di antaranya, program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), pembangunan gudang garam ber-SNI, dan akses permodalan bagi usaha petambak garam.

Namun, produksi garam nasional masih menemui banyak kendala. Antara lain faktor cuaca yang banyak hujan, sarana dan prasana yang kurang memadai, dan teknologi yang masih terbatas alias konvensional. Kemudian, masih banyaknya impor garam yang merembes ke pasar sehingga memukul harga garam lokal,

Ditambahkan Herman, garam nasional juga memiliki banyak kelemahan. Di antaranya, mengandung kadar air yang tinggi, kadar NaCl belum aksimal, tingkat kebersihan rendah, dan harganya mahal karena produksinya yang tak banyak.

“Mahalnya produksi garam dalam negeri karena skala usaha terlalu kecil dengan rata-rata lahan pengusahaan. Selain itu, banyak lokasi produksi garam yang tak ideal. Lokasinya terletak di daerah dengan curah hujan tinggi, tingkat kelembapannya tinggi, dekat muara sungai yang mengakibatkan tingkat kadar garam lautnya rendah dan kotor, banyak lokasi produksi yang jauh dari pusat distribusi logistik, serta teknologi yang digunakan sudah ketinggalan zaman,” tandasnya. Sumber: Rmol [Ummatuna/Apikepol]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: