Prabowo Itu Pemimpin
Oleh: Margarito Kamis*
BERKALI-kali Prabowo Subiyanto, pensiunan Jenderal Bintang Tiga Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat, dalam kampanye capres-cawapres tahun 2019 kali ini, cukup sering mengungkapkan pandangannya tentang persoalan bangsa tercinta ini.
Bangsa ini, kalau bisa disederhanakan, dalam pandangannya mengalami kemerosotan kualitas, hampir pada setiap aspek kehidupan. Pendidikan, kesehatan, pendapatan, lapangan kerja, sumberdaya alam, ekonomi, hukum dan lainnya, teridentifikasi mengandung masalah. Tetapi apakah masalah-masalah ini merupakan masalah dasar, terbesar? Terlihat dalam pandangannya, tidak. Masalah terbesar, sejauh yang terlihat dari pandangannya adalah komitmen membangun secara benar.
Pemimpin
Prabowo, karena itu, sebenarnya hendak bicara tentang pemimpin, setidak-tidaknya kepemimpinan pemimpin. Harus diakui sejarah akan mengarahkan siapapun yang hendak bicara kemajuan atau keterbelakangan sebuah bangsa, dengan menunjuk, secara tak terbantahkan, pada pemimpin sebagai figur yang menjadi penyebab utamanya.
Tidak harus menyandang gelar "prinsipes civitatis" orang pertama dalam negara itu, karena kedudukan dan tanggung jawabnya, tetapi pemimpin selalu begitu, menjadi orang pertama di negara itu yang harus dimintai tanggung jawab atas soal-soal, besar dan kecil, yang terjadi dalam negaranya. Inilah yang dicatat dalam sejarah.
Di Romawi kuno misalnya, tahu pemerintahan sebelumnya, misalnya pemerintahan Tyberius Lucius, yang dalam gambaran Syed Husen Alatas, begitu menjijikan, rakus, Lycurgus segera memecahkannya dengan satu kreasi mengagumkan. Kreasinya adalah mengombinasikan unsur-unsur monarki, arsitokrasi dan demokrasi menjadi satu sistem formal bernegara.
Ketiga unsur itu dibuat saling terkait, sehingga penyelenggaraan negara berlangsung dalam kerangka saling mendukung dan mengawasi. Kreasi itu bertolak dari asumsi manusia memiliki potensi jahat yang luarbiasa, sehingga bila tidak ditemukan cara untuk menjinakan, maka setiap saat akan timbul kejahatan. Setiap kali timbul kejahatan, dalam pandangannya, menandai adanya masalah lebih besar yang tersembunyi dalam masyarakat itu. Asumsi ini, beberapa abad kemudian memancar di Amerika pada saat James Madison merumuskan prinsip cheks and balances dalam Philadelphia Constitutional Convention 1787.
Sistem baru hasil kreasi Lycurgus itu memungkinkan Romawi bertahan lebih dari dua abad, sebelum akhirnya pada tahun 476 Masehi runtuh, didahului keruntuhan wilayahnya di Barat, Eropa, bagian dari imperiumnya. Tetapi dua abad sesudah keruntuhannya, entah apakah begitulah sejarah bergerak atau suatu kebetulan yang istimewa, dunia menyambut fajar peradaban baru.
Fajar peradaban baru itu muncul di Timur Tengah, dengan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihiwasallam, sebagai kreator dan pemimpin utama memanggungkan Madinah, kota. Dalam sifatnya, kota ini sangat civilian. Itu disebabkan Kota, hasil kreasi gemilang Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ini, memanggungkan kesamaan derajat manusia. Perbudakan, perlahan tapi pasti, terus direduksi. Sayidina Usman, Sayidina Abubakar, Sayidina Umar dan Sayidina Ali, semuanya dengan ketulusan dan keihlasannya, dalam sumbangan yang paling mungkin, telah memungkinkan Islam, agama baru ini, tidak hanya terkonsolidasi, tetapi juga berkembang. Orang-orang tulus dan ihlas, modal terbesar seorang pemimpin, memungkinkan kecerdasannya bekerja dan dengan tepat mengenal masalah-masalah utama, bukan sampingan -simpton- yang dihadapi Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hukum yang tidak beres, ditunjuk, misalnya oleh Sayidina Umar, sebagai penyebab terbesar masalah pada waktu itu, dan bukan orang-orang, sebagian yang hendak beralih meninggal Islam. Lurus dan berada paling depan dalam urusan penegakan hukum, melejitkan Sayidina Umar, pemimpin hebat ini dihormati sepanjang hidupnya, bahkan oleh orang-orang yang tidak sekeyakinan dengannya.
Sayidina Umar tidak membenarkan, untuk alasan kepentingan agama Islam sekalipun, mengambil hak orang secara tidak adil. Tidak. Ia adil, sangat adil, sehingga bukan orang Yahudi yang diambil tanahnya untuk membangun Masjid tanpa ganti rugi oleh Anas Bin Auf, Gubernur Mesir, diperintahkan untuk dikembalikan. Anaknya, juga dihukum, hingga menjadi sebab ajal menjemputnya.
Harun Al Rasyid dan Umar Bin Abdul Azis, dua pemimpin besar, jauh setelah para Khulafaurrasyidin di atas, mencatat dalam sejarah peradaban Islam sebagai pemimpin dengan kaliber hebat. Ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat, berkat sentuhan cerdas dan bernas Harun Alrashid. Intanbul, nama pengganti atas Konstantinopel, tumbuh menjadi kota hebat, dengan rakyat yang sejahtera berkat ketepatan mengenali masalah substansial, dengan sentuhan ketulusan dan keihlasan, yang tak tertandingi pada zamannya, oleh Umar Bin Abdul Aziz memerintah negeri itu.
Alam Demokrasi
Demokrasi memang tidak digunakan menandai pemerintahan di atas, tetapi sejarah, seperti ditulis berbagai kalangan tetap menempatkan kepemimpinan, pemimpin, sebagai poin utama penyelenggaraan pemerintahan. Malah demokrasi, meminta lebih pada pemimpin. Ini disebabkan demokrasi memungkinkan segala kekuatan, hitam dan putih, bertarung bersama dalam, sebut saja, perebutan seluruh sumberdaya politik dan ekonomi, termasuk pada level tertentu, mengendalikan pembentukan kebijakan, tentu dengan cara mereka.
Bagaimana hukum dan ekonomi misalnya dibangun, dalam kenyataannya, betapapun membutuhkan legitimasi politik, tetapi cukup sering ditentukan diruang-ruang tertutup, oleh segelintir orang. Distorsi, jenis dan jangkauannya memiliki peluang terabsorbsi ke dalam kebijakan itu, kecuali bila pemimpin, karena kualitas dan kepekaan keadilan, mencegahnya. Itu yang dilakukan, misalnya oleh George Washington dalam menentukan sikap netralnya dalam perang Inggris-Perancis.
Itu juga yang diperlihatkan oleh Thomas Jefferson dalam menangani perompakan atas kapal-kapal dagang Amerika di Afrika. Jefferson adalah pria paling visioner dalam mengenal bahaya yang akan ditimbulkan bank sentral.
Yakin betapa Bank jenis ini akan membawa malapteka bagi bangsa dan rakyat Amerika, betapapun gagasan menghadirkan Bank ini didukung penuh oleh Alexander Hamilton, Menteri Keuangan pertama dalam pemerintahan presidensial Amerika, Jeffeson menolak kehadiran bank itu. Sikap Jefferson ini, ternyata bergema, lebih keras dalam pemerintahan Andrew Jackson.
Sejarah pemerintahan demokrais Amerika, kelak menempatkan ambil misalnya William McKenly sebagai pemimpi hebat dalam menentukan arah ekonomi Amerika. Kalau bukan yang pertama, McKenly adalah presiden yang terkuat orientasi proteksionisme, sekaligus gigih dalam melambungkan diplomasi keras Amerika, sampai ke Asia. Tahu bahwa ekonomi Amerika mulai dikangkangi korporasi besar, dan hasil pertanian mulai terdesak oleh perdaganan antar negara, William mengegmpurnya. Ia menciptakan beberapa UU, khususnya UU tentang Tarif.
Tipikalnya ini dilanjutkan oleh Theodore Rosevelt, wakil presiden yang naik ke panggung kepresidenan menggantikan William yang mati terbunuh. Theodore menjadi presiden, dengan prestasi penggunaan executive order, dekrit, melapui Abraham Lincoln. Seperti William, Theodore juga sama keras sikapnya terhadap korporasi besar. Sikap kerasnya itu, dalam kenyataannya mengusik, ambil misalnya JP. Morgan.
Itu sekadar latar, betapa pentingnya pemimpin. Mereka, cukup jelas, dalam batas yang terlihat secara nyata, di miliki dan dipahami dan ditampilkan oleh Prabowo, jauh sebelum menjadi capres. Terbuka, tak buang badan, tak bicara hal tetek bengek, jauh dari dendam, tak bicara dirinya, misalnya membanggakan pengalaman memimpin. Ia terlihat tahu betul betapa sejarah akan menertawakan, bahkan bukan tak mungin mengejeknya, siapapun yang blak-blakan membanggakan dirinya.
Prabowo, tak mungkin tak mengetahui George Washington, William Mckenly, Dwight H. Eishenhower, Winston Churchill, John Kennedy, Pak Harto, dan Pak SBY, semua punya latar belakang militer. Bung Karno, Pak Habibie, Gus Dur, orang-orang sipil, yang semuanya tidak memiliki pengalaman menjadi presiden. Mereka semua -militer dan sipil- ini mencatat sukses pada level zamannya.
Keadilan dan kemakmuran adalah awal dan akhir mimpi, semua bangsa. Dari gagasan besar itulah, kebijakan dan keputusan teknis dirancang untuk memberi bentuk atas deteilnya. Apa yang harus dilakukan, bagaimana prioritasnya, bagaimana realisasinya, kapan dan dengan apa, secara tepat, efektif, efisien dan legitim- adalah persoalan pemimpin.
Keadilan sama sekali bukan, apalagi semata-mata persoalan hukum. Kemakmuran juga bukan, apalagi semata-mata persoalan ekonomi. Keduanya adalah persoalan politik, dan persoalan politik, tidak bisa jauh, dalam sistem apapun, dari persoalan pemimpin. Pemimpin tidak lain, selain harus memiliki kepekaan. Dan kepekaan tidak pernah bisa lain maknanya selain merupakan kombinasi manis, elok, kecerdasan otak dan hati.
Kombinasi kecerdasan otak dan hati, membuat orang mengenal dirinya. Dan kala orang mengenal dirinya, dia akan mengenal esensi hidupnya, kunci mengenal akhir perjalanannya. Kala ini bertahta pada seseorang, ketulusan dan keihklasan akan bicara dengan suaranya yang khas. Pemiliknya akan dilarang, selalu begitu, untuk membangga-banggakan dirinya, termasuk apa yang telah, sedang dan akan dilakukan.
Prabowo, seperti selalu terlihat, dengan semua tampilannya sejauh ini, menemukan sambutan gegap-gempita, bergemuru tulus oleh ribuan orang setiap kali ia jumpa mereka. Cukup bernas, sejauh ini, Prabowo tak terlihat dirancang atau merancang dirinya sebagai orang sederhana. Ia apa adanya. Selalu seperti itu, apa adanya, untuk ukuran hidup dirinya.
Tetapi orang jenis ini, harus diakui, selalu ditakuti, digambarkan sebagai monster oleh segelintir orang, yang dalam gambaran John Coleman disebut Komite 300. Kelompok penikmat terbesar seluruh sumberdaya ekonomi, hukum dan politik yang selalu tak terlihat ini, dengan semua yang mereka miliki akan berusaha, dengan semua cara kotor, licik dan picik yang bisa, menghambatnya. Kelompok tak terlihat ini bekerja melalui banyak tangan cerdas menggambarkan, dalam nada menakut-nakuti, merendahkan dan menjijikan, menyesatkan untuk memastikan orang seperti Prabowo, terhalang jalannya meraih kursi kepresidenan. Ini soal terbesar yang harus dipikirkan oleh siapapun yang memimpikan Indonesia adil dan makmur, dan makmur secara berkeadilan.
*) Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar pada FH Universitas Khairun Ternate