Imbau Warga Legowo dengan Tuntutan JPU ke Ahok, Edhi: Saran Pak Kadiv Sara yang Memperlakukan Publik Bodoh dan Dungu






"Menurut saya saran Pak Kadiv adalah sara yang memperlakukan publik bodoh dan dungu," kata Djoko Edhi dalam pesan elektronik yang dipancarluaskannya, Senin (24/4).
Umatuna.com - Pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polda Metro Jaya, Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono, yang meminta masyarakat legowo atas tuntutan jaksa terhadap Basuki Tjahaja Purnama menuai kritik keras.

Salah satunya disampaikan Djoko Edhi Abdurrahman, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU).

"Menurut saya saran Pak Kadiv adalah sara yang memperlakukan publik bodoh dan dungu," kata Djoko Edhi dalam pesan elektronik yang dipancarluaskannya, Senin (24/4).

Dia mengatakan, mengutip pandangan pemikir kelahiran Inggris Thomas Hobbes serta pemikir Islam Al Mawardi dan Al Maudhudi, jika keadilan tidak terpenuhi maka rakyat memiliki hak untuk memberontak. Tak ada kata ataupun hukum yang menyatakan legowo terhadap ketidakadilan, apalagi akibat kesewenang-wenangan atau abuse of power.

"Pelanggaran kepada rasa keadilan harus dilawan, bukan legowo. Lakukan apa saja untuk melawan ketidakadilan," kata mantan anggota Komisi II DPR RI itu.

Kelakuan jaksa yang menuntut Basuki hanya dengan hukuman percobaan dalam kasus penodaan agama Islam, menurut dia, nyata-nyata melanggar dua kata adil dalam Pancasila, yakni Sila Kedua dan Sila Kelima.

"Saran dari Argo adalah saran orang yang tak kunjung duduk di bangku sekolah. Kalau pun pernah, pasti sedang mendengkur, jadi tak paham," sambung dia.

Dia menilai, saran yang disampaikan Argo melawan hukum positif, melawan kontitusi, melawan filsafat hukum, melawan konvensi penafsiran hukum, melanggar Peraturan Jaksa Agung No 28 Tahun 2014, dan sekaligus melanggar hukum acara.

Dalam konteks hukum acara, katanya, saran Argo melanggar lima hal. Pertama, sejak kapan dakwaan primer boleh diganti dakwaan subsider, yang bukti-buktinya terbukti di persidangan? Kedua, sejak kapan tuntutan boleh membuang yurisprudensi hukum di mana tak seorang pun terpidana blasphemi yang tidak masuk penjara? Ketiga, sejak kapan tuntutan hukum boleh tak mengambil bukti materil buku blasphemi Ahok, kampanye gubernur Babel Ahok?

Keempat, sejak kapan tuntutan hukum diperboleh hukum tak mengambil bukti bahwa terdakwa mengulangi perbuatannya di Al Jazeera, Wifi berpasword kafir? Dan terakhir, sejak kapan JPU boleh melanggar kode etik profesi?

"Tak perlu dijawab Pak Polisi. Yang dibutuhkan adalah polisi melaksanaan kode etik profesi," demikian Djoko Edhi. (rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: