Ahok Penggusur Paling Brutal Sepanjang Sejarah Indonesia
Umatuna.com - Dalam buku berjudul 'Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok, Menuntut Keadilan Untuk Rakyat', Marwan Batubara menyebut Ahok adalah penggusur paling brutal sepanjang sejarah.
"Penggusuran warga bukan hanya sering terjadi, tapi juga dilakukan oleh Ahok dengan pendekatan kekerasan, stigmatisasi, intimidasi, dan teror," kata Marwan dalam buku itu.
Ahok, sebut Marwan, menggusur dengan cara brutal, tidak manusiawi, dan tidak mengedepankan dialog.
Mengutip pendapat aktivis senior I Sandyawan Sumardi, Marwan mengatakan ada tiga pola sistemik yang dilakukan Ahok dalam melakukan penggusuran paksa, yakni 'stigmatisasi, justifikasi, dan hancurkan'.
Pola ini dijalankan agar muncul kesan penggusuran yang dilakukan adalah perbuatan mulia.
Stigmatisasi dilakukan dengan didukung media-media mainstream dan industri media, diawali Ahok membuat pernyataan publik jika daerah miskin dan kumuh yang akan digusur adalah tanah milik negara, pemukiman liar dan ilegal.
Atau wilayah yang akan digusur dikepung dulu dengan stigma sosial seperti daerah narkoba, daerah preman, daerah pelacuran, pengokupasi sungai, pereklamasi sungai, penyebab banjir Jakarta, tempat TBC, pelanggar kepentingan umum dan tata ruang.
Setelah itu dilakukan justifikasi penggusuran dengan menjejali opini publik, dengan narasi "kepentingan publik".
Misalnya dibesar-besarkan penggusuran dilakukan untuk tujuan seperti demi kepentingan umum, demi narasi besar kepentingan bangsa dan negara, misalnya proyek normalisasi, pengendalian banjir, ruang terbuka hijau, perbaikan tanggul, dan jargon lain sejenis itu.
Selain justifikasi ideologi, disebarkan juga justifikasi mengapa Pemda DKI menolak dialog. Dialog dianggap hanya memakan waktu, sementara ada alasan kemendesakan proyek harus segera jalan, bahwa proyek untuk membuat warga kumuh menjadi beradab dan manusiawi dengan memindahkan warga dari daerah kumuh ke rusunawa yang layak huni.
"Inilah ujungnya: gusur dan hancurkan," jelas Marwan.
Sebagai pembenaran, Ahok menyiapkan landasan hukum sekenanya, entah berdasarkan Pergub, Perda atau undang-undang.
Kalaupun warga yang akan digusur masih mengajukan gugatan hukum di pengadilan negeri, Ahok tidak menghormatinya. Mereka tetap digusur dengan alasan belum ada putusan mengikat dari pengadilan.
Di dalam bukunya itu Marwan menguraikan kasus-kasus penggusuran paksa yang dilakukan oleh Ahok. Kasus yang diuraikan antara lain penggusuran Kampung Pulo, Kalijodo, Pasar Ikan, Kampung Akuarium, Bidara Cina dan Bukit Duri.
Ahok, masih menurut Marwan, sama sekali tidak peduli penggusuran paksa yang dilakukannya melanggar hukum, HAM dan moral etika publik, serta menabrak prinsip-prinsip good govenance.
Ribuan pasukan aparat gabungan dari Satpol PP, Polri dan TNI dan disertai alat berat dikerahkan oleh Ahok. Biaya untuk mereka bisa diperoleh Ahok dari APBD atau dana nonbudgeter dari kewajiban para pegembang.
"Pelibatan personil TNI/Polri oleh Ahok dalam menggusur warga tidak dapat dibenarkan dan melanggar undang-undang tentang TNI dan Polri," tegas Marwan.
Kenyataannya, masih kata Marwan, kebrutalan Ahok membuat warga yang digusur menderita. Mereka tidak tertampung di rusun, yang tertampung di rusun mengalami pemiskinan dengan hilangnya pekerjaan, naiknya biaya hidup, dan bahkan terancam diusir dari rusun.
Kenyataan lainnya, korban penggusuran oleh Ahok mengalami berkurangnya hak dasar warga.
"Tindakan brutal Ahok menggusur warga melanggar HAM, menggusur tanpa musyawarah, menggusur dengan kekerasan, menggusur untuk memiskinkan," kata Marwan dalam bukunya itu.
Buku berjudul 'Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok, Menuntut Keadilan Untuk Rakyat' diluncurkan hari ini, Selasa (23/5), di ruang KK 2, gedung parlemen, Senayan, Jakarta.
Buku setebal 282 halaman dan edisi pertama diberi pengantar oleh mantan Ketua MPR RI Prof Amien Rais, ditulis Marwan Batubara sebagai bentuk protes dan perlawanan atas ketidakadilan yang diterima rakyat atas perlakuan Ahok.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), selama ini fokus melakukan kajian dan advokasi permasalahan sumber daya alam dan sektor sumber daya ekonomi. (rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]
"Penggusuran warga bukan hanya sering terjadi, tapi juga dilakukan oleh Ahok dengan pendekatan kekerasan, stigmatisasi, intimidasi, dan teror," kata Marwan dalam buku itu.
Ahok, sebut Marwan, menggusur dengan cara brutal, tidak manusiawi, dan tidak mengedepankan dialog.
Mengutip pendapat aktivis senior I Sandyawan Sumardi, Marwan mengatakan ada tiga pola sistemik yang dilakukan Ahok dalam melakukan penggusuran paksa, yakni 'stigmatisasi, justifikasi, dan hancurkan'.
Pola ini dijalankan agar muncul kesan penggusuran yang dilakukan adalah perbuatan mulia.
Stigmatisasi dilakukan dengan didukung media-media mainstream dan industri media, diawali Ahok membuat pernyataan publik jika daerah miskin dan kumuh yang akan digusur adalah tanah milik negara, pemukiman liar dan ilegal.
Atau wilayah yang akan digusur dikepung dulu dengan stigma sosial seperti daerah narkoba, daerah preman, daerah pelacuran, pengokupasi sungai, pereklamasi sungai, penyebab banjir Jakarta, tempat TBC, pelanggar kepentingan umum dan tata ruang.
Setelah itu dilakukan justifikasi penggusuran dengan menjejali opini publik, dengan narasi "kepentingan publik".
Misalnya dibesar-besarkan penggusuran dilakukan untuk tujuan seperti demi kepentingan umum, demi narasi besar kepentingan bangsa dan negara, misalnya proyek normalisasi, pengendalian banjir, ruang terbuka hijau, perbaikan tanggul, dan jargon lain sejenis itu.
Selain justifikasi ideologi, disebarkan juga justifikasi mengapa Pemda DKI menolak dialog. Dialog dianggap hanya memakan waktu, sementara ada alasan kemendesakan proyek harus segera jalan, bahwa proyek untuk membuat warga kumuh menjadi beradab dan manusiawi dengan memindahkan warga dari daerah kumuh ke rusunawa yang layak huni.
"Inilah ujungnya: gusur dan hancurkan," jelas Marwan.
Sebagai pembenaran, Ahok menyiapkan landasan hukum sekenanya, entah berdasarkan Pergub, Perda atau undang-undang.
Kalaupun warga yang akan digusur masih mengajukan gugatan hukum di pengadilan negeri, Ahok tidak menghormatinya. Mereka tetap digusur dengan alasan belum ada putusan mengikat dari pengadilan.
Di dalam bukunya itu Marwan menguraikan kasus-kasus penggusuran paksa yang dilakukan oleh Ahok. Kasus yang diuraikan antara lain penggusuran Kampung Pulo, Kalijodo, Pasar Ikan, Kampung Akuarium, Bidara Cina dan Bukit Duri.
Ahok, masih menurut Marwan, sama sekali tidak peduli penggusuran paksa yang dilakukannya melanggar hukum, HAM dan moral etika publik, serta menabrak prinsip-prinsip good govenance.
Ribuan pasukan aparat gabungan dari Satpol PP, Polri dan TNI dan disertai alat berat dikerahkan oleh Ahok. Biaya untuk mereka bisa diperoleh Ahok dari APBD atau dana nonbudgeter dari kewajiban para pegembang.
"Pelibatan personil TNI/Polri oleh Ahok dalam menggusur warga tidak dapat dibenarkan dan melanggar undang-undang tentang TNI dan Polri," tegas Marwan.
Kenyataannya, masih kata Marwan, kebrutalan Ahok membuat warga yang digusur menderita. Mereka tidak tertampung di rusun, yang tertampung di rusun mengalami pemiskinan dengan hilangnya pekerjaan, naiknya biaya hidup, dan bahkan terancam diusir dari rusun.
Kenyataan lainnya, korban penggusuran oleh Ahok mengalami berkurangnya hak dasar warga.
"Tindakan brutal Ahok menggusur warga melanggar HAM, menggusur tanpa musyawarah, menggusur dengan kekerasan, menggusur untuk memiskinkan," kata Marwan dalam bukunya itu.
Buku berjudul 'Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok, Menuntut Keadilan Untuk Rakyat' diluncurkan hari ini, Selasa (23/5), di ruang KK 2, gedung parlemen, Senayan, Jakarta.
Buku setebal 282 halaman dan edisi pertama diberi pengantar oleh mantan Ketua MPR RI Prof Amien Rais, ditulis Marwan Batubara sebagai bentuk protes dan perlawanan atas ketidakadilan yang diterima rakyat atas perlakuan Ahok.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), selama ini fokus melakukan kajian dan advokasi permasalahan sumber daya alam dan sektor sumber daya ekonomi. (rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]