TGB: Jangan Hadap-hadapkan Islam dengan Demokrasi







TGB: Jangan Hadap-hadapkan Islam dengan Demokrasi

Opini Bangsa - Islam dan demokrasi memiliki banyak elemen-elemen kesesuaiannya daripada elemen perbedaannya. Karena itu jangan dipertentangkan antara Islam dan demokrasi.

Demikian disampaikan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi dalam Seminar “Politik dalam Islam” yang diselenggarakan di Universitas Paramadina Jakarta, Sabtu (20/5).

Menurut TGB, demikian panggilan akrab Tuan Guru Bajang, Islam bisa berdampingan dengan demokrasi. Bahkan karena kita sudah memilih demokrasi maka kita bisa mengisinya dengan nilai-nilai Islam.

“Kita harus mencari titik-titik temu antara Islam dengan demokrasi dalam elemen-elemen dasar keduanya, seperti kesetaraan, kesamaan, penegakan hukum dan lain-lain. Dan itu sudah tercermin dalam sejarah politik Islam hingga runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani”, katanya.

TGB menambahkan, nilai-nilai demokrasi sudah termaktub dalam al-Qur’an dengan konsep Kalimatun sawa’. Karena itu ia mengajak semua pihak untuk tidak putus asa mencari konsensus bersama yang bisa menyatukan semua elemen.

TGB mencontohkan bagaimana para pendiri bangsa di balik perdebatan mereka tentang dasar negara, namun mereka memiliki hubungan yang erat dan niat yang baik untuk bangsa sehingga mencapai kesepakatan berupa Pancasila dan UUD 45.

Mengapa sekarang dalam bernegara kita mudah dihadap-hadapkan? itu terjadi karena telah mengalami krisis nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan) dan nilai-insaniyah (kemanusiaan).

TGB juga mengkritik pihak yang menuduh Islam tidak punya elemen politik. “Bagaimana mungkin Islam yang punya peradaban besar selama berabad-abad hingga merubah wajah peradaban tapi tidak punya elemen politik? Ini pikiran yang naif sekali”.

TGB memberikan contoh politik rasul saat membuat kesepakatan di piagam Madinah, perjanjian Hudaibiyah dan Fathul Makkah yang damai.

Menurut TGB ada tiga elemen dalam politik Islam, Pertama, Mitsaqiyah (konstitualisme) dibuktikan dengan piagam Madinah. Dan ternyata ini juga bagian dari ciri demokrasi. Konstitualisme bukan hanya dengan peraturan formal, tapi juga dengan aspek akhlaq karimah publik/keadaban publik.

Kedua, Syuro (musyawarah partisipatoris). Ini sudah menjadi tradisi rasul dalam pengambilan berbagai macam keputusan.

Ketiga, Al-mas’uliyah (akuntabilitas). TGB mencontohkan kasus pidato Abu Bakar yang meminta didukung dan ditaati ketika dia sesuai dengan aturan, dan minta diingatkan saat dia melanggar aturan, demikian juga dengan pidato Umar ketika menjadi Khalifah.

Karena itu pemimpin pasca rasul memiliki dua gelar: khalifatur rasul dan Amirul mukminin. Khalifatur rasul merujuk pada akuntabilitas vertikal kepada Allah SWT, sementara Amirul mukminin merujuk pada akuntabilitas horisontal atau tanggung jawab kepada rakyatnya. Dan itu ada dalam tradisi bernegara Indonesia dan demokrasi. “Coba lihat saat pejabat publik diangkat sumpah dengan menyebut nama Allah. Tapi di saat bersama mereka juga punya tanggung jawab kepada masyarakatnya”. [opinibangsa.id / kgc]

[apikepol.com]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: