Impor Makanan dari China Naik 40%, Pengamat: Bahkan Es Krim Pun di Impor, Ini Sudah keterlaluan!







Impor Makanan dari China Naik 40%, Pengamat: Bahkan Es Krim Pun di Impor, Ini Sudah keterlaluan!

Opini Bangsa - Indonesia digempur impor. Data Badan Pusat Statistik mencatat, impor sektor konsumsi melonjak 58,21%. Kenaikan tertinggi pada impor buah-buahan serta gula dan permen.

Sementara, Impor barang modal naik 18,8% didorong oleh kenaikan impor telepon seluler dan notebook. Sementara impor bahan baku dan penolong naik 13,31% dibanding Februari 2017. Bila dihitung secara total, impor selama kuartal I-2017 tercatat US$ 36,68 miliar, naik 14,83% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Pengamat ekonomi INDEF, Bhima Yudhistira, mengemukakan, dengan tren kenaikan impor yang makin besar, menandakan industri di dalam negeri, belum mampu menjadi substitusi impor. Padahal, saat ini, tren konsumsi kian membesar ditopang konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang mencapai 50%.

"Dengan lonjakan konsumsi, artinya butuh barang yang makin banyak. Kalau industri dalam negerinya tidak bisa memenuhi itu, tentu impor makin besar. Atau bisa juga, impor makin besar ini bukan juga karena industri tidak bisa memenuhi, tapi harga di dalam negeri tidak kompetitif, sehingga membuka keran impor besar-besaran," ucap Bhima, dalam keterangan resminya kepada Jitunews.com, Senin (1/5) malam.

Jika didetailkan lagi, Bhima menjelaskan, impor konsumsi yang makin melonjak yakni barang elektronik yang naik signifikan dan impor makanan jadi dari China naik sampai 40 persen. Semua produk itu ada di kategori barang konsumsi.

"Bahkan es krim pun diimpor, ini sudah keterlaluan," tegasnya.

Ia mengingatkan, jika impor yang selalu didahulukan, sementara kelas menengah kian membesar dengan konsumsi yang makin besar, tentu saja ada banyak dampak negatif. Daya saing rendah, dan jika ketergantungan, jika menyebabkan inflasi tinggi.

Belum lagi saat ini, kata Bhima, ada tren struktur perekonomian mulai bergeser dari sektor industri ke industri ke perdagangan. Ini sudah terlihat dari hasil survei Susenas BPS di 2017 tercatat 12,3 juta orang bergerak di bidang usaha perdagangan dan eceran.

"Sehingga sektor industri pengolahan tidak lagi diminati,lebih berpikir lebih baik menjadi importir barang jadi," ucap Bhima.

Padahal, industri pengolahan penyerap sektor tenaga kerja, ada transfer teknologi juga, sekaligus salah satu sektor industri strategis. Ironisnya, sekarang porsi industri pengolahan terus turun kontribusinya di bawah 20 persen terhadap PDB nasional.

"Ini ada pergeseran yang kurang bagus, di struktur ekonomi. Akibatnya kalau jadi konsumen barang impor maka dari sisi kedaulatan ekomomi bahaya juga. Ketika suatu saat sudah tergantung, kemudian harga barangnya naik, secara global, nilai tukar rupiah rendah, maka akan ada pukulan besar terhadap inflasi," tandas Bhima.

Dampak bahaya lain, akan ada pukulan daya beli masyararakat. Bahkan, nanti ketika digaungkan bonus demografi di 2030, sementara industri pengolahannya semakin lesu digempur barang impor otomatis penyerapan tenaga kerja akan menurun.

Sekarang saja, satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan 110 ribu tenaga kerja baru. Dulu, satu persen pertumbuhan ekonomi menciptakan 500 ribu tenaga kerja. Artinya dengan lima persen pertumbuhan ekonomi hari ini hanya sekitar 550 ribu orang tenaga kerja baru.

Indonesia, kata Bhima, berpotensi menjadi negara stres, akibat terlalu cepat industrialisasi. Di negara lain memang terjadi juga deindustriliasasi, seperti di Korea Selatan, sektor industri juga bergeser.

Tapi korea sudah menjadi high income country alias negara berpenghasilan tinggi, sementara Indonesia terkena jebakan kelas menengah, industrinya mulai turun terlalu cepat. Di di triwulan ke empat 2016, pertumbuhan ekonomi memang 5 persen, tapi pertumbuhan industri pengolahannya hanya 1,3 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Untuk itu, pemerintah harus dipaksa menciptakan industri substitusi impor. Mempercepat hilirisasi. Bukan hanya ekspor barang baku mentah. Pemerintah memang mengeluarkan 15 paket kebijakan ekonomi. Namun, sampai sekarang tidak berpengaruh. Industri pengolahan tetap lesu bahkan industri tekstil negatif. Artinya. Kalau dilihat dari situ paket kebijakan harus dievaluasi kembali.

"Jangan-jangan serbuan impor juga kesalahan pemerintah, karena harga produk di dalam negeri tinggi. karena faktor penunjang produksi misalkan energi, seperti gas masih mahal," ucap Bhima.

Hal lain yang harus diperhatikan, pemerintah harus menciptakan hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan konsisten menerapkannya. Jangan hanya karena lobi politik, seperti kedatangan Wakil Presiden Amerika Serikat, kebijakan ekspor mentah menjadi longgar.

"Negara boleh gak menerapkan non tarif barrier, harusnya itu sah dan legal. Di Indonesia kalau tidak salah ada 270 hambatan non tarifnya. Amerika Serikat yang disebut negara bebas tanpa hambatan, justru hambatan tarif bisa 2000-4000 lipat, China bisa sampai 4000 hambatan non tarifnya, artinya kenapa pemerintah tidak membuat hambatan non tarif, agar industri di dalam makin bagus, mampu bertahan dari serbuan impor," tegas Bhima. [opinibangsa.id / jn]

[apikepol.com]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: