Menguak Kasus BLBI, Rizal Ramli Bongkar Habis Kebobrokan di Era Megawati







Menguak Kasus BLBI, Rizal Ramli Bongkar Habis Kebobrokan di Era Megawati

Opini Bangsa - Ekonom senior dan sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli merasa aneh dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikeluarkannya Surat Keterangan Lunas (SKL) di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Menurut Rizal, semasa dirinya masih di kabinet Gus Dur, pemerintah saat itu tidak ada pikiran macam-macam apalagi memberikan SKL BLBI dengan cuma-cuma.

“Yang penting buat kami pada waktu itu, semua yang masih ada utang BLBI untuk mengakui utangnya. Pada waktu itu, kami minta supaya diberikan personal guarantee karena sebelumnya tidak diminta,” cerita Rizal dalam keterangan yang diterima media, Rabu (3/5).

Langkah Rizal itu penting agar semua obligator mempunyai tanggung jawab sampai hutangnya selesai. Pasalnya, dengan memberikan personal guarantee, dari anak sampai cucu ada tanggung jawab kepada hutang tersebut. Pihaknya, kata Rizal, hanya berjaga-jaga supaya mereka yang mengantongi utang memenuhi kewajibannya.

“Tetapi setelah kami tidak di situ (di pemerintah/di era Megawati), personal guarantee malah dibalikin kembali, sehingga pemerintah bargaining position-nya menjadi lebih lemah dibanding si penghutang,” tuturnya.

Makanya, kata Rizal, pihaknya sendiri tidak mengikuti secara detail terkait penerbitan SKL itu, karena terjadi setelah pemerintahan Gus Dur. “Kami waktu itu dalam pemerintahan Gus Dur, SKL itu dikeluarkan kalau memang sudah lunas,” ucapnya.

Artinya, lanjut Rizal, aset-asetnya sudah diserahkan senilai besarnya BLBI yang diberikan pada waktu itu. Tentu wajar SKL itu diberikan kepada yang telah melunasi.

“Nah, yang jadi pertanyaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), belum lunas kok sudah diberikan surat keterangan lunas? Ada masalah di situ. Kok bisa orang yang masih punya utang sudah diberi SKL. Tapi, persisnya ya KPK yang bisa menjawab,” papar dia.

Menko Maritim dan Sumber Daya era Joko Widodo ini bercerita, saat krisis melanda Indonesia tahun 1997 sampai 1998, dimana ketika itu Asia juga sedang krisis, Pemerintah Indonesia undang Dana Moneter Internasional (International Monatery Fund/IMF).

Dari situ, IMF memaksa Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang justru membuat ekonomi Indonesia anjlok, dari rata-rata 6 persen ke minus 13 persen. Saat itu, IMF juga memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan tingkat bunga dari rata-rata 18 persen menjadi 80 persen.

“Sehingga pada waktu itu, banyak perusahaan yang sehat, perusahaan yang normal, mau nggak mau (jadi) bangkrut. Karena tingkat bunga yang sangat tinggi,” jelasnya.

Dia melanjutkan, lewat IMF itu, pemerintah memaksakan menutup 16 bank kecil dan sedang. Akan tetapi akibatnya, rakyat Indonesia tidak percaya dengan bank nasional. Banyak yang mengalami ketidakpercayaan, yang akhirnya hampir seluruh bank-bank besar termasuk BCA dan Danamon bangkrut (kolaps), sehingga terpaksa pemerintah menyelamatkan bank-bank itu dengan mengucurkan BLBI.

Selanjutnya, kata Rizal, IMF juga memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tanggal 1 Mei 1998 -sebelum Soeharto lengser- sebesar 74 persen yang memicu demonstrasi besar-besaran hingga kerusahaan. Dalam peristiwa itu, ratusan orang meninggal dan ribuan orang luka-luka. Sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) anjlok dari Rp2.200 menjadi Rp15.000 per USD.

“Saran-saran IMF itu disetujui oleh para menteri waktu itu, menteri bidang ekonomi komprador, malah akibatkan ekonomi Indonesia anjlok. Sehingga pemerintah harus menyelamatkan hampir US$ 80 miliar untuk bantu bank-bank ini atau hampir sekitar Rp1.000 triliun. Kalau sejarang, bisa dihitung dengan bunga-berbunganya,” terangnya.

Rizal mengurai, semula pinjaman BLBI itu dalam bentuk tunai. Dan sudah seharusnya hutang-piutang dengan pemilik bank itu pun tetap tunai. Tapi entah bagaimana ada lobi-melobi, yang akhirnya diganti dengan penyerahan aset.

Dalam proses penyerahan aset itu, beberapa pengusaha pemilik bank yang jujur, menyerahkan aset yang bagus dengan nilai sepadan dengan BLBI yang diberikan itu. Tapi celakanya, ada juga pemilik bank yang nakal dan bandel justru memasukkan saham-saham dan perusahaan yang nilai sebetulnya jauh lebih rendah.

Sehingga dengan indikasi tersebut, menurut dia, dalam prakteknya jelas terjadi penyelewengan. Apalagi Indonesia dipaksa oleh IMF untuk segera menjual aset yang diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut.

“Pada waktu kami masuk jadi Menko, setelah krisis, strategi kami adalah tidak menjual aset-aset itu, kecuali sangat diperlukan untuk menambal APBN. Akan tetapi restructure asset tersebut untuk 5-7 tujuh tahun kemudian,” paparnya.

Dengan perkiraan, kata Rizal, kalau dijual sesuai saran IMF itu, maka harganya akan jatuh, Republik Indonesia pasti akan sangat dirugikan. Namun kalau mengikuti kebijakannya, proses restructure 5-7 tahun baru dijual, maka pada tahun 2005/2007, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah naik dari tadinya 700-an ke atas 1500, justru pemerintah Indonesia akan bisa mendapat lebih banyak lagi, karena ecovery rate-nya lebih tinggi.

“Tapi kebanyakan menteri ekonomi Indonesia manut dengan IMF yang konyol itu. Sehingga akhirnya dipaksa menjual dengan harga sangat murah, dan merugikan, termasuk kasus penjualan BCA, yang oleh Pak Kwik Kian Gie (Menko Prekonomian sebelum Rizal) juga sudah jelaskan berkali-kali, itu sangat merugikan negara,” jelas Rizal.

Soal status tersangka mantan Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung, Rizal sendiri siap saja memberikan keterangan kepada penyidik KPK yang sudah dijawalkan pekan ini. Menurut dia, dirinya dan Kwik Kian Gie sudah dipanggil KPK sebagai saksi untuk menggali kasus ini, sekitar tiga tahun lalu, tapi dinyatakan tidak ada apa-apa.

“Dan tiba-tiba dihidupkan kembali, Pak Kwik sudah dipanggil untuk dimintai keterangannya sebagai saksi. Dan saya akan datang ke KPK untuk memenuhi panggilan KPK,” jelas Rizal.

Dirinya akan menjelaskan apa saja yang diketahuinya baik sebagai Menko Perekonomian atau pun sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang selesai di medio 2001. Baru setelah itu, kata dia, periode pemerintahan baru atau di era Megawati malah menerbitkan kebijakan SKL dan melaksanakan kebijakan SKL itu.

Dan ketika dirinya menjabat Menko dan Ketua KKSK itu, Syafruddin Temenggung adalah Sekretaris KKSK, dan anggotanya adalah para menteri di bawah Kemenko Perekonomian. Dan di era itu, tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh-aneh.

“Akan tetapi setelah Saudara Syarifudin jadi Ketua BPPN, dan kami sendiri tidak lagi di kabinet, jadi sebetulnya tidak terlalu mengikuti apa yang terjadi setelah itu, tapi tetap perlu dikaji (kenapa ada SKL). Apakah ini sekedar kesalahan ketua KKSK (setelah Rizal) atau ada faktor-faktor lain, yang mungkin dominan dan penting kenapa kejadian itu bisa terjadi,” pintanya.

KPK sendiri menetapkan mantan Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung sebagai tersangka baru di kasus penerbitan SKL BLBI di era Megawati. KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004, Sjamsul Nursalim.

SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN. KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun. [opinibangsa.id / akt]

[apikepol.com]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: