Perempuan, Perselingkuhan Dan Ketakutan Kekuasan Terhadap Habib Petamburan








KONON, di balik kekuasaan yang kuat ada wanita yang hebat. Artinya, kuat tidaknya suatu kekuasaan akan tergantung dari hebat tidaknya sosok perempuan yang berada di belakangnya.

Karena itu ada yang menafsirkan, kekuatan kekuasaan Presiden Soeharto tumbang tidak lama setelah Ibu Tien, isterinya meninggal dunia. Sementara Presiden Soekarno, semua orang tahu salah satu sumber kekuatannya ada pada perempuan.

Sebaliknya, tidak ada kisah tentang perempuan hebat karena di belakangnya ada lelaki yang kuat. Sebut saja mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Tatcher, Konselir Jerman Angela Merkel atau Aktivis HAM asal Burma, Aung San Suu Kyi yang sekarang diragukan keberpihakannya pada HAM. Jarang ada kisah tentang suami hebat di belakang mereka sebagai perempuan dengan kekuasaan yang kuat.

Tidak perlu heran, perempuan dan kekuasaan, seperti teman seperjalanan. Banyak kisah yang menyertai keduanya. Sekali lagi, ini penting, perempuan dan kekuasaan. Bukan perempuan dan pengetahuan, bukan perempuan dengan budayawan apalagi perempuan dengan agamawan.

Sampai di sini, membahas perempuan dan agamawan menjadi menarik karena hubungan keduanya tidak jauh dari pusaran kekuasaan.

Dalam konteks politik kekuasaan Indonesia, hubungan perempuan dan kekuasaan dimediasi atau diantarai oleh perselingkuhan. Perselingkuhan menghadirkan gagasan lain di balik kisah tentang "dimana ada kekuasaan yang kuat, selalu ada perempuan hebat". Perselingkuhan kemudian menghadirkan gagasan tentang "dimana ada orang kuat yang mengancam kekuasaan, di situ ada perempuan dan perselingkuhan".

Perselingkuhan kemudian dijadikan alat untuk menekan sesuatu yang mengancam kekuasaan melalui proses pembunuham karakter orang yang hendak disasar.

Kisah tentang perempuan, perselingkuhan dan kekuasaan ini sudah lama menjadi mitos bagi masyarakat Indonesia. Mitologi tersebut bisa ditelusuri dari kisah Ken Arok dan Ken Dedes atau kisah serupa lainnya di sejumlah kerajaan nusantara.

Kekuasaan Indonesia kontemporer juga kerap diwarnai oleh relasi perempuan, perselingkuhan dan kekuasaan. Operasinya menggunakan pembunuhan karakter (character assasination) pihak yang dianggap mengancam kekuasaan atau pihak yang ingin meraih kekuasaan yang diinginkan.

Sebut saja pembunuhan karakter terhadap beberapa tokoh, di Indonesia, seperti: Gus Dur dengan Aryanti; SBY dengan Bunda Putri; Antasari Azhar dengan Rani Juliani; Abraham Samad dengan Feriyani Lim.

Dan saat ini Habib Rizieq dengan Firza Husein. Hal ini menarik, karena baru pertama kali dalam Indonesia kontemporer ada ulama dikriminalisasi dengam isu perempuan dan perselingkuhan. Sebelumnya memang ada kasus KH. Zainuddin MZ (Alm) dengan Aida Saskia, tapi kasus ini tidak melibatkan kekuasaan. Ada pula kasus Ustadz Luthfi Hasan Ishaaq dengan Darin Mumtazah, tapi kasus ini juga tidak melibatkan kekuasaan.

Pola melempar fitnah dan tuduhan perselingkuhan untuk membunuh karakter tokoh tertentu, selain di Indonesia di negara lain pun juga terjadi dan metode seperti ini masih di anggap efektif untuk menjatuhkan reputasi tokoh yang sedang di bidik. Mengapa Habib Rizieq dibidik menggunakan isu perempuan dan perselingkuhan? Bukankah Habib Rizieq sedang tidak memegang kekuasaan?

Tentu saja tulisan ini tidak berpretensi membahas aspek hukum kasus tersebut. Walau banyak kejanggalan, biarlah para ahli hukum yang berdebat soal itu.

Benarkah Habib Rizieq tidak sedang memegang kekuasaan? Benar, bila kekuasaan diartikan secara formal sebagai power yang menempel pada suatu otoritas, struktur yang bersifat hirarkis. Habib Rizieq bukan pejabat negara yang sedang menduduki struktur kekuasaan berpengaruh seperti itu. Habib Rizieq juga bukan petinggi partai politik. Lantas apa yang dikuasai oleh Habib asal Petamburan ini?

"Kekuasaan itu menyebar, bukan terpusat," demikian ujar Foucault. Salah satu sebaran kekuasaan itu ada di pundak Habib Rizieq. Inilah yang disebut Bourdieu sebagai capital. Habib Rizieq memiliki social capital (modal sosial) dan religious capital (modal religius).

Modal sosial dan modal religius adalah investasi yang dilakukan Habib Rizieq terhadap keyakinan religiusnya dalam suatu relasi sosial yang luas dan dalam waktu lama melalui berbagai praktik.

Investasi capital tersebut menuai hasilnya saat Aksi Bela Islam 212 digelar. Harus diakui, jangan malu, hingga saat ini Aksi Bela Islam 212 merupakan aksi paling menakjubkan sepanjang sejarah dunia. Apalagi kemudian aksi serupa dilakukan berjilid dengan nomer cantik yang menarik, seperti Aksi 112, Aksi 313, Aksi 505.

Social capital (modal sosial) dan religious capital (modal religius) yang dimiliki Habib Rizieq ini mungkin yang menjadi ketakutan kekuasaan. Sehingga perlu 'dijinakkan' dengan mantra khusus yang mematikan, dan melodramatis. Kisah melodramatis lebih sering dipandang dengan negatif untuk mengacu pada setiap cerita yang menampilkan situasi sensasional dan alur cerita yang terlalu emosional yang tampaknya dirancang untuk bermain di perasaan khalayak.

Dan tidak ada mantra sakti yang mengandung khasiat melodramatis kuat kecuali perempuan dan perselingkuhan. Jika kisah itu benar, ini akan menjadi pelajaran bagi siapa saja yang berurusan dengan kekuasaan.

Tapi jika kisah itu salah, saya khawatir suami akan kehilangan kemesraan dengan istrinya. Sebab para suami akan khawatir rayuan mesranya pada istri melalui WhatsApp dijadikan bukti perselingkuhan oleh kekuasaan. Dan ini berbahaya bagi terwujudnya keluarga Indonesia yang bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah....


DR Iswandi Syahputra, MSi
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.[rmol]



[M.Bersatu/apik.apikepol.com]

“Jika engkau punya teman – yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah- maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Karena mencari teman -‘baik’ itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali” [Imam Syafi'i]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: