Islam Agama Pertama yang Terapkan Toleransi
Di tengah suasana saling tuduh intoleran yang sedang merundung persada Nusantara masa kini, kita semua perlu menyimak pernyataan mahaguru etika saya, Prof. Dr. Frans Magnis Suseno SJ bahwa Islam adalah agama pertama yang menerapkan toleransi.
Menurut Romo Frans kekristenan baru menghidupkan toleransi sekitar abad XVIII. Sementara Katolik baru 50 tahun yang lalu melahirkan Konsili Vatikan II sebagai landasan mazhab kerukunan antar umat beragama.
Selama lebih dari 1400 tahun sebelumnya, umat Kristen hidup sebagai komunitas-komunitas kecil di Mesir, Libanon, Irak, Pakistan, dll.
Orang-orang Yahudi hidup di Timur Tengah yang mayoritas dipimpin oleh para pemimpin Islam demikian ungkap Romo Frans saat menjadi narasumber dalam Simposium Memahami Nilai-nilai Pancasila di Paroki Maria Bunda Karmel Tomang, Jakarta.
Untuk konteks Indonesia, Romo Frans menjelaskan, saat para pemuda dari berbagai agama dan suku duduk bersama untuk merumuskan naskah Sumpah Pemuda terlihat dengan sangat jelas bahwa umat Muslim sebagai mayoritas tidak memaksakan diri untuk mengangkat sumpah berdasarkan agama.
Demikian pula Sukarno ketika merumuskan Pancasila.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia bersedia “merendahkan diri” untuk merangkul umat beragama lain dalam menetapkan falsafah hidup bersama.
Yang mayoritas wajib mengayomi yang minoritas, namun yang minoritas juga wajib tidak melukai hati apalagi menghina yang mayoritas.
Pencerahan Romo Frans sangat berharga untuk kita bersama hayati demi menepis tudingan intoleran terhadap umat Islam di Indonesia.
Berdasar pengalaman pribadi sebagai umat Kristen di Indonesia, secara empirik saya selalu memperoleh kesan positif terhadap sikap toleran para sesama warga Indonesia yang beragama Islam.
Sesuai wejangan dua mahaguru Islam saya, Gus Dur dan Cak Nur tentang “Agamamu agamamu, agamaku agamaku” maka saya tidak pernah mengalami pengalaman buruk dari teman-teman Muslimin yang tentu saja beda tafsir akibat beda agama dengan diri saya.
Dalam suasana tabayyun saling mengerti, menghormati dan menghargai, kami dapat bertukar pikiran bahkan berdebat tanpa sedikit pun kecurigaan apalagi kebencian.
Dengan sahabat saya yang tokoh cendekiawan Islam Dr. Hidayat Nur Wahid, saya sempat berseberangan pendapat sampai bahkan berdebat sengit di kantor Ketua MPR mengenai Undang-Undang Pornografi. Namun seusai berdebat, kami berdua kembali bersahabat secara damai sejahtera.
Prof Dr Salim Said yang kebetulan beragama Islam merupakan mahaguru politik saya tanpa pernah mengalami masalah akibat kita berdua beda ras dan beda agama.
Dalam wawancara dengan Habib Muhammad Rizieq Shihab, saya memperoleh kesadaran bahwa di dalam kitab suci Al Quran terdapat ayat-ayat yang secara khusus dan eksplisit mengajarkan kerukunan antar umat beragama.
Maka secara khusus pula saya berguru kepada Habib Rizieq khusus fokus pada ayat-ayat kerukunan antar umat beragama di dalam Al Quran yang terpaksa terus terang saya akui masih belum kunjung tuntas pelajari berhubung keterbatasan daya tangkap dan daya tafsir diri saya sendiri.
Ketika berkunjung ke masjid Aa Gym di Bandung, secara langsung saya merasakan ketulusan keramahtamahan umat Islam menerima saya yang beragama Nasrani sebagai tamu yang terhormat. Bahkan pada saat itu, Aa Gym secara khusus berkhotbah mengenai sejarah Islam masuk Indonesia dibawa oleh para warga dari negara China nun jauh di sana sebagai penghormatan khusus bagi saya yang secara sosio-biologis kebetulan memang tergolong keturunan China.
Apabila ingin melihat toleran pada kenyataan sikap dan perilaku maka silakan berkenalan dengan mahaguru budi pekerti saya yaitu KH. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih merakyat dengan nama Gus Mus yang juga mahasastrawan itu.
Segenap fakta itu merupakan bukti yang menggarisbawahi kebenaran pernyataan Romo Frans Magnis Suseno bahwa Islam adalah agama pertama yang menerapkan toleransi.
Oleh: Jaya Suprana
sumber : ngelmu
[M.Bersatu/apik.apikepol.com]
“Jika engkau punya teman – yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah- maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Karena mencari teman -‘baik’ itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali” [Imam Syafi'i]