Hentikan Kasus Kaesang, Polri Tidak Profesional Dan Takut Pada Anak Presiden
Umatuna.com - Polri harus tetap memproses pengaduan pelapor Muhammad Hidayat Situmorang terhadap Kaesang. Terlapor yang diduga putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Pasalnya, kasus dugaan ujaran kebencian (hate speech) dan penodaan agama yang menjerat Kaesang, telah diterbitkannya Laporan Polisi (LP) bernomor LP/1049/K/VI.2017/SPKT/Restro Bekasi Kota tertanggal 2 Juli 2017.
"Jika polisi tidak memprosesnya, akan muncul kesan negatif pada Polri. Muncul anggapan Polri tidak profesional serta takut pada anak Presiden," ujar Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (7/7).
Menurut Neta, Polri seharusnya membuktikan diri sebagai lembaga profesional, proporsional dan independen. Apalagi Kapolri Jenderal Tito Karnavian gencar mendengungkan slogan profesional, modern dan terpercaya (Promoter).
"Artinya, semua laporan masyarakat harus diproses. Karena Polri sudah dibiayai dari pajak rakyat," tegas Neta.
Dalam proses kasus tersebut, Polri bisa saja mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan alasan tidak ditemukan tindak pidana. Hanya saja, kata Neta, setelah melalui proses gelar perkara.
"Tapi, dalam kasus Kaesang sebaiknya lanjut saja (proses hukumnya) hingga ke Pengadilan. Agar tidak ada kesan bahwa Polri takut pada anak Presiden atau ada tuduhan Polri diintervensi Presiden," paparnya.
Sementara itu, tutur Neta, Kaesang sebagai terlapor diimbau tetap tenang sambil menunggu perkembangan dari penanganan yang dilakukan polisi.
Jika semua pihak bekerja profesional, proporsional dan independen dalam menangani kasus ini, lanjutnya, Kaesang dipastikan akan bebas di pengadilan.
"Karena kasus ini hanya sekadar kasus ecek-ecek belaka. Terlepas dari semua itu, kasus Kaesang harus menjadi pembelajaran bagi anak-anak para pejabat agar jangan neko-neko di media sosial," demikian Neta.
Kaesang dilaporkan Hidayat ke Polrestro Bekasi lantaran vlog pribadinya berjudul #BapakMintaProyek dituding mengandung unsur ujaran kebencian dan penodaan agama.
Padahal, pelapor sendiri berstatus tersangka terkait kasus ujaran kebencian. Serta, sudah 60 kali membuat LP dengan kasus berbeda-beda, selama enam bulan terakhir, sejak Januari 2017.
Pihak Polda Metro Jaya (PMJ) sempat menegaskan dan menjamin proses hukum terkait kasus ini akan tetap berjalan. Bahkan, Kabid Humas PMJ Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, status tersangka pelapor tidak membatasi seseorang untuk membuat laporan polisi.
"(Proses hukum) masih lanjut. Tetap diproses kasusnya. (Status tersangka) boleh saja laporan," kata Argo, Rabu lalu (5/7).
Namun, satu hari berselang, tepatnya Kamis (6/7), Wakapolri Komjen Syafruddin menyatakan telah menginstruksikan anak buahnya untuk menghentikan LP atas nama Kaesang. Ia menilai LP yang ditujukan kepada Kaesang tidak ada unsur pidana dan dianggap mengada-ada.
"Tidak ada (unsur pidana) itu. Laporannya ngada-ngada. Kita tidak akan tindak lanjuti laporan itu," tegas Syafruddin di Mabes Polri.
Instruksi tersebut, disampaikan Syafruddin usai mendatangi Istana Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis siang.
Syafruddin menjelaskan, ujaran kebencian yang ditujukan ke Kaesang hanya bersifat gurauan (guyon). Apalagi istilah "Ndeso" yang diperkarakan dianggap merupakan gurauan umum di masyarakat.
"Ya ngomong 'Ndeso' kan dari kecil saya sudah dengar omongan itu. Itu kan guyonan saja," papar Syafruddin saat itu.
Sekedar diketahui, terkait tindakan penghentian penyidikan, merupakan kewenangan penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ada beberapa alasan penghentian penyidikan yang telah diatur secara limitatif dalam pasal tersebut.
Pertama, tidak diperoleh bukti yang cukup. Maksudnya, apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
Kedua, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana.
Yaitu, karena nebis in idem (terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan dan telah inkrah), tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.(rmol) [Ummatuna/Apikepol]
Pasalnya, kasus dugaan ujaran kebencian (hate speech) dan penodaan agama yang menjerat Kaesang, telah diterbitkannya Laporan Polisi (LP) bernomor LP/1049/K/VI.2017/SPKT/Restro Bekasi Kota tertanggal 2 Juli 2017.
"Jika polisi tidak memprosesnya, akan muncul kesan negatif pada Polri. Muncul anggapan Polri tidak profesional serta takut pada anak Presiden," ujar Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (7/7).
Menurut Neta, Polri seharusnya membuktikan diri sebagai lembaga profesional, proporsional dan independen. Apalagi Kapolri Jenderal Tito Karnavian gencar mendengungkan slogan profesional, modern dan terpercaya (Promoter).
"Artinya, semua laporan masyarakat harus diproses. Karena Polri sudah dibiayai dari pajak rakyat," tegas Neta.
Dalam proses kasus tersebut, Polri bisa saja mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan alasan tidak ditemukan tindak pidana. Hanya saja, kata Neta, setelah melalui proses gelar perkara.
"Tapi, dalam kasus Kaesang sebaiknya lanjut saja (proses hukumnya) hingga ke Pengadilan. Agar tidak ada kesan bahwa Polri takut pada anak Presiden atau ada tuduhan Polri diintervensi Presiden," paparnya.
Sementara itu, tutur Neta, Kaesang sebagai terlapor diimbau tetap tenang sambil menunggu perkembangan dari penanganan yang dilakukan polisi.
"Karena kasus ini hanya sekadar kasus ecek-ecek belaka. Terlepas dari semua itu, kasus Kaesang harus menjadi pembelajaran bagi anak-anak para pejabat agar jangan neko-neko di media sosial," demikian Neta.
Kaesang dilaporkan Hidayat ke Polrestro Bekasi lantaran vlog pribadinya berjudul #BapakMintaProyek dituding mengandung unsur ujaran kebencian dan penodaan agama.
Padahal, pelapor sendiri berstatus tersangka terkait kasus ujaran kebencian. Serta, sudah 60 kali membuat LP dengan kasus berbeda-beda, selama enam bulan terakhir, sejak Januari 2017.
Pihak Polda Metro Jaya (PMJ) sempat menegaskan dan menjamin proses hukum terkait kasus ini akan tetap berjalan. Bahkan, Kabid Humas PMJ Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, status tersangka pelapor tidak membatasi seseorang untuk membuat laporan polisi.
"(Proses hukum) masih lanjut. Tetap diproses kasusnya. (Status tersangka) boleh saja laporan," kata Argo, Rabu lalu (5/7).
Namun, satu hari berselang, tepatnya Kamis (6/7), Wakapolri Komjen Syafruddin menyatakan telah menginstruksikan anak buahnya untuk menghentikan LP atas nama Kaesang. Ia menilai LP yang ditujukan kepada Kaesang tidak ada unsur pidana dan dianggap mengada-ada.
Instruksi tersebut, disampaikan Syafruddin usai mendatangi Istana Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis siang.
Syafruddin menjelaskan, ujaran kebencian yang ditujukan ke Kaesang hanya bersifat gurauan (guyon). Apalagi istilah "Ndeso" yang diperkarakan dianggap merupakan gurauan umum di masyarakat.
"Ya ngomong 'Ndeso' kan dari kecil saya sudah dengar omongan itu. Itu kan guyonan saja," papar Syafruddin saat itu.
Sekedar diketahui, terkait tindakan penghentian penyidikan, merupakan kewenangan penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ada beberapa alasan penghentian penyidikan yang telah diatur secara limitatif dalam pasal tersebut.
Pertama, tidak diperoleh bukti yang cukup. Maksudnya, apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
Kedua, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana.
Yaitu, karena nebis in idem (terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan dan telah inkrah), tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.(rmol) [Ummatuna/Apikepol]