Hukum Rimba Demokrasi
OLEH: MARGARITO KAMIS
PUKUL dulu, urusan berikut terlihat menjadi takdir hukum di alam demokrasi yang terus mengejala disebagian negara demokratis, serikat maupun kesatuan, di Barat maupun di Asia.
Siapapun yang teridentifikasi, entah valid atau tidak membahayakan keamanan nasional segera menjadi sebab hidupnya mesin demokrasi memutar roda hukum. Hukum dalam putaran roda demokrasi ini didedikasikan pada keamanan nasional, akan digerakan dengan kecepatan maksimum, dan ugal-ugalan.
Ambil keamanan nasional, letakan di teras depan demokrasi lalu tempelkanlah tuduhan, semengerikan mungkin kepada siapapun yang tindak-tanduknya, entah valid atau tidak teridentifikasi hendak merobek-robek keamanan itu adalah cara kerja tipikal demokrasi, persis kerja mesin otokrasi.
Sama dengan otokrasi, demokrasi mempersilahkan setelah itu, mereka yang tergilas roda hukum rimbanya pergi ke pengadilan membela diri, menyangkalnya sejauh bisa.
Di pengadilanlah, kata aksioma klasik demokrasi yang agak konyol dan kosong sebagai tempat yang tersedia, hebat dalam menyangkal tuduhan itu, sejauh bisa dan mungkin.
Demokrasi sama dengan otokrasi memiliki sekelompok kecil orang penjilat, setidak bermental abal-abal mendefenisikan jalannya hukum. Siapa yang diambil, kapan dan dengan tuduhan apa, dalam hukum rimba demokrasi ditentukan oleh kelompok ini.
Kedaulatan Buatan
Amerika Serikat terlihat cukup andal dalam pertunjukan hukum rimba demokrasi. Negeri pengekspor demokrasi dan hak asasi manusia ini, sejauh yang terlihat secara empiris cekatan dalam murusan ini.
Hampir tak ada negara dapat menyaingi mereka, karena reputasi yan begitu hebat dalam urusan ini. Grek Palast jurnalis top dan penulis buku top “The Best Democracy Money Can Buy” buku yang telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa, menunjukan dengan level nada paling meyakinkan sisi empiris kepingan hukum rimba demokrasi khas Amerika itu.
Menjelang pemilu yang mempertandingkan George H. Bush Junior dan Al Gore, Jep Bus yang tidak lain adalah adik George Bush dan pejabat tata pemerintahan Katherine Harris memerintahkan para pengawas pemilu lokal membersihkan 58 ribu pemilih dari daftar pemilihan.
Alasannya, mereka adalah para penjahat yang tidak berhak memilih di Florida. 54 persen dari mereka yang dikeluarkan dari daftar pemilih adalah pendukung democrat berkulit putih dan hispanik. Hebohkah ini? Mirip pilpres kita kali ini.
Kata Grek kecuali Salon.com tidak ada pers kaliber di Amerika yang memberitakannya, apalagi melakukan investigasi. Salon pun membuat berita berseri, tetapi hanya menayangkan seri pertama. Seri kedua yang dijanjikan ditayangkan berakhir tragis karea hanya bilang akan akan turun dua hari lagi, dua hari lagi, dua hari lagi sampai hilang ditelan hukum rimba demokrasi.
Michael Livine, veteran DEA, dalam kasus lain menceritakan pengalamannya yang membuktikan betapa hukum di alam demokrasi tidak lebih dari hukum rimba, dityentukan oleh mereka yang kuat. Livine menulis, level permainan penipuan monte perang obat bius dimulai ketika Presiden Bill Clinto dan Pemimpin Mayoritas Republikan di Dewan Perwakilan Rakyat, Newt Gingrich berpengangan tangan dengan posisi terangkat sebagai tanda kemenangan.Mereka, tulis Livine lebih jauh mencanangkan kampanye bernilai semiliar dolar dengan iklan ala “Katakan Tidak pada Narkoba” (catatan iklan serupa bertebaran di Indonesia hingga sekarang).
Uang tadi akan dialirkan ke koper-koper semua entitas Holywood dan media arus utama dalam bentuk iklan papan-papan besar Wall Street, tayangan-tayangan televisi dan artikel-artikel Koran yang mengingatkan rakyat Amerika pada moto “pokoknya katakan tidak”.
Lalu rakyat Amerika terpukau, sejauh bisa bahwa hukum sedang bekerja di tangan pemerintah. Padahal, seperti ditunjukan Livine sebelumnya, tidak. Ini adalah taktik penecoh. Tapi rakyat bisa apa?
Apa yang hukum dan demokrasi sumbangkan untuk membongkar tuntas kematian Jerry Park, Kepala Keamanan Kampanye Bill Clinton, pria yang tahu, mungkin terlalu banyak tentang berbagai aktifitas, termasuk seksual terlarang Bosnya? Tidak. Kata Philip Weiss, pers arus utama Amerika yang membanggakan diri dengan “independen, obyektif dan entah apalagi” dan hukum yang katanya hebat, cuma bisa berkelit dengan menyodorkan dengan cara yang taktis begitu banyak alasan konyolnya.
Weiss juga menulis sekarang (menunjuk tahun 1990-an) penutupan bukti oleh FBI dalam sepuluh tahun terakhir ini mulai dari kasus Ruby Ridge. Idaho, sampai ke Waco, ke Oklahoma City. Sulit menemukan sebuah organisasi yang begitu banyak dicemari perilaku pejabat yang tidak meyakinkan. Namun tidak ada satupun pukulan palu ini diprakarsai media arus utama.
Begitulah, untuk beberapa kasus yang mungkin tidak beralasan untuk digeneralisasikan tenatng hukum rimba bekerja pada negeri kampiun demokrasi. Demokrasi menyediakan cara yang begitu khas membuat yang kotor tampak bersih, dan semua yang seharusnya terungkap dapat disembunyikan tanpa nmenyisakan pertanyaan, apalagi kritis.
Nikmati Sajalah Pahitnya
Apakah demokrasi menyediakan jalan keluar hebat dari praktik hukum rimba? Tidak mungkin, dan jelas tidak ada. Demokrasi terlanjur berhasil mengonsolidasi sekelompok kecil orang sebagai pendefenisi utama setiap detail kecil perkembangannya. Demokrasi telah cukup berhasil menakut-nakuti setiap pengambil keputusan yang memiliki hati, untuk tak coba-coba menggunakan hati dalam menentukan arah hukum.
Demokrasi telah cukup berhasil dengan kepiawaiannya yang tak terandingi menelurkan penjilat-penjilat tua dan muda dalam hampir setiap sudut yang diperlukan.
Cukup terang terlihat demokrasi berhasil menakut-nakuti orang dengan sebutan radikal, Islam radikal, Islamis dan sebutan lain yang mengerikan. Sebutan-sebutan itu malah bisa, dengan kecanggihan kerja demokrasi dijadikan barang dagangan, barang yang menghasilkan uang.
Atas nama masyarakat terbuka, Open Society bentukan Soros, sebutan radikalis bisa saja memanggil Soros mengelontorkan uang untuk mendidik, memoderenkan, menetralkan dan memungkinkan mereka menjadikan halaman masjid sebagai tempat konser musik, apapun namanya konser itu. Itu namanya modern khas demokrasi. Siapa yang menolak, segera panggil hukum, tempelkan kepada mereka sebagai tukang onar.
Bila anda mengeluarkan kata-kata tak terukur, demokrasi akan membuka gudang hukumnya, mengambil UU Antirasdikriminasi dan UU IT, undang-undang yang paling buruk ini menjaring anda, membawa anda ke gudangnya yang lain, penjara. Cilaka. Jadi anda mau apa? Begitu cara kerja demokrasi, suka atau tidak.
Demokrasi seperti diperlihatkan sejumlah ahli di atas di atas punya cara menutup kebobrokannya. Demokrasi menyediakan cara cukup canggih melindungi kekuasaan. Demokrasi memelihara dirinya, termasuk kekuasaan dengan bantuan pilar lain sebagai pengecoh, dibantu dalam taraf tertentu oleh aparatur penjilat terlatih, yang cerdas menyediakan cara memoles kenyataan.
Demokrasi pada konteks yang lain, berbicara dengan bahasa uang dan kekerasan khas. Noriega memang tidak menyogok presiden Amerika Serikat pada zamannya dengan uang, tetapi Noriega dimungkinkan eksis, menjual narkoba, karena Amerika. KetiKa Noriega mulai aneh dengan Terusaannya, hendak memalingkanya ke Jepang, senjata Amerika datang bicara. Mau apa? Ini negara besar, terlalu besar untuk ukuran Panama. Itulah demokrasi.
Demokrasi itu dalam kenyataannya ditentukan oleh siapa yang nyata-nyata memegang kekuasaan menggerakan mesin penggilasnya; hukum. Demokrasi nyata tidak peduli pada etika, pada kejujuran. Itu hanya penting bagi para filosof. Demokrasi memerlukan para pemain cerdik dan cekatan dalam berkelit, cerdas menemukan alasan pembenaran setiap gerak hukum rimbanya.
Demokrasi Amerika memiliki cara membuat kecurangan terlihat benar, manis, indah dan elok dan dapat menghasilkan presiden hebat seperti Geroge W. Bush junior. Hebatnya demokrasi tidak peduli pada suara beda sekasar apapun yang meluncur keluar dari gudang oposisi. Tapi Bung itu demokrasi Amrik, bukan demokrasi Indonesia. Demokrasi kita peduli sangat pada kata-kata, pada diksi. Oh Oke faham. Nikmati saja pahitnya, sembari memuji-mujinya sebagai dinamika demokrasi sampai Allah menunjukan jalan lain pada waktunya. rmol.id
Penulis adalah Doktor Hukum Negara (HTN) dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
[rmol]