Menurut Eks Ketua MK, Fenomena Tuntutan JPU Harus Dijelaskan dengan Ilmu Batin Bukan Ilmu Hukum
Umatuna.com - JPU menuntut Ahok sangat ringan. Pak Mahfud MD heran. Satu republik bingung. Baru kali ini JPU seolah berpihak kepada terdakwa. Memang, sejak Joko-Ahok berkuasa, negeri ini jadi ganjil. Menurut Pak Mahfud, fenomena tuntutan JPU harus dijelaskan dengan ilmu batin. Bukan ilmu hukum.
Sebelumnya, saat merayakan Ahok tumbang, seorang teman memberitau soal deal tuntutan terhadap Ahok. Dia bilang, Ahok akan dituntut ringan, 8-12 bulan. Vonisnya 1 tahun penjara dengan hukuman percobaan 2 tahun. Ternyata ada benarnya.
Tampaknya, ilmu hukum Pak Mahfud nggak sanggup memahami anomali sikap JPU. Mungkin fenomena tuntutan JPU ini mesti dijawab dengan ilmu politik. Publik curiga ada intervensi klik tertentu.
Jika benar, bahaya sekali bila politik masuk ruang persidangan. Supremasi hukum dinodai politik (kepentingan). Menurut Dr. Miro Cerar, "politics can interpret law as an obstacle on the way toward the realization of certain political goals."
Artinya, politik di atas hukum. Asas "rule of law" rusak. Kehidupan bernegara kita terancam.
Dalam skandal tuntutan JPU, asas equity (Suum Cuique Tribuere) tidak ada. Ahok diperlakukan berbeda dari terdakwa seperti Permadi, Lia Eden, Asrwendo. Sekali pun, yurisprudensi tidak mengikat, namun mestinya rasa keadilan masyarakat harus tetap diperhatikan.
Arsewendo menyatakan ngga sengaja menista agama. Tetep divonis 4 tahun. Ahok sadar dengan apa yang dia ucapkan. Malah konten yang sama ditemukan berulang-ulang.
Bila pertimbangan Jaksa, Ahok berjasa sebagai gubernur, maka logika terbalik mesti digunakan. Arswendo dan Lia Eden tidak makan uang negara. Gubernur digaji rakyat. Bagi saya, bila seorang pejabat melakukan kejahatan atau melanggar hukum maka vonisnya mesti lebih berat.
Mungkin praduga masyarakat ada benarnya. Jaksa Agung mesti individu steril. Jangan kader dari partai politik.
Sekarang, bola di tangan hakim. UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) dan UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Sebaiknya, klik tertentu yang sedang berkuasa memperhatikan himbauan Pa Dien Samsudin.
Kasus Ahok menyakiti rasa keadilan umat Islam. Show of force 212 merupakan kekuatan yang tidak bisa dikalahkan. Sekali pun tertib, namun itu kekuatan. Presiden harus diselamatkan dari tangan-tangan jahat klik tertentu yang hendak memancing emosi. Presiden harus menegakan hukum. Bersihkan politik dari area hukum. Islam adalah suprastruktur dan jiwa yang menentukan hidup-matinya republik ini. (rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]
Sebelumnya, saat merayakan Ahok tumbang, seorang teman memberitau soal deal tuntutan terhadap Ahok. Dia bilang, Ahok akan dituntut ringan, 8-12 bulan. Vonisnya 1 tahun penjara dengan hukuman percobaan 2 tahun. Ternyata ada benarnya.
Tampaknya, ilmu hukum Pak Mahfud nggak sanggup memahami anomali sikap JPU. Mungkin fenomena tuntutan JPU ini mesti dijawab dengan ilmu politik. Publik curiga ada intervensi klik tertentu.
Jika benar, bahaya sekali bila politik masuk ruang persidangan. Supremasi hukum dinodai politik (kepentingan). Menurut Dr. Miro Cerar, "politics can interpret law as an obstacle on the way toward the realization of certain political goals."
Artinya, politik di atas hukum. Asas "rule of law" rusak. Kehidupan bernegara kita terancam.
Dalam skandal tuntutan JPU, asas equity (Suum Cuique Tribuere) tidak ada. Ahok diperlakukan berbeda dari terdakwa seperti Permadi, Lia Eden, Asrwendo. Sekali pun, yurisprudensi tidak mengikat, namun mestinya rasa keadilan masyarakat harus tetap diperhatikan.
Arsewendo menyatakan ngga sengaja menista agama. Tetep divonis 4 tahun. Ahok sadar dengan apa yang dia ucapkan. Malah konten yang sama ditemukan berulang-ulang.
Bila pertimbangan Jaksa, Ahok berjasa sebagai gubernur, maka logika terbalik mesti digunakan. Arswendo dan Lia Eden tidak makan uang negara. Gubernur digaji rakyat. Bagi saya, bila seorang pejabat melakukan kejahatan atau melanggar hukum maka vonisnya mesti lebih berat.
Mungkin praduga masyarakat ada benarnya. Jaksa Agung mesti individu steril. Jangan kader dari partai politik.
Sekarang, bola di tangan hakim. UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) dan UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Sebaiknya, klik tertentu yang sedang berkuasa memperhatikan himbauan Pa Dien Samsudin.
Kasus Ahok menyakiti rasa keadilan umat Islam. Show of force 212 merupakan kekuatan yang tidak bisa dikalahkan. Sekali pun tertib, namun itu kekuatan. Presiden harus diselamatkan dari tangan-tangan jahat klik tertentu yang hendak memancing emosi. Presiden harus menegakan hukum. Bersihkan politik dari area hukum. Islam adalah suprastruktur dan jiwa yang menentukan hidup-matinya republik ini. (rmoljakarta) [Ummatuna/Apikepol]