“Demokrasi” Atau “DemoCrazy”








Nasional.in ~ Di Negara-negara Yang menerapkan sistim demokrasi dengan Benar, seperti : Amerika, Kanada, Denmark dll, Tidak pernah Terjadi Orang yang mengkritik Pejabat Publik lalu Ditangkap oleh Polisi di negaranya.

Mereka semua Faham, apalagi aparat penegak hukumnya lebih Faham bahwa Demokrasi itu maknanya adalah ‘Kedaulatan ada ditangan Rakyat’. mereka Faham bahwa Pejabat2 Politik yang dipilih oleh sistim Demokrasi itu dibayar/Digaji dari Uang Rakyat.

Rakyat berhak kecewa, mengkritik dan bersuara keras dan itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Menjadi Pejabat publik harus siap menerima Kritikan, hinaan dan olok-olokan dari Rakyatnya apabila Kebijakan yang mereka lakukan mengecewakan Rakyatnya.

Jika tidak siap menerima Kritik dari rakyat, maka jangan coba-coba mengajukan diri sebagai Calon Pejabat Politik. Jika tidak siap dikritik, lebih baik tetap menjadi tukang mebel, atau tetap jadi pedagang atau jadi Preman, gak usah ikut berpolitik!.

BACA KE BAWAH PENJELASAN DEMOKRASI SISTEM KUFUR



Sumber Berita : Fb

DEMOKRASI : SISTEM KUFUR, HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya



Oleh : Riyan Zahaf

Kutipan Kitab Terjemah:
“DEMOKRASI : SISTEM KUFUR, HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan
Menyebarluaskannya (hal 34-52)”, Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah.

Sebelum kami menjelaskan pertentangan demokrasi dengan Islam dan menerangkan hukum syara’ dalam pengambilan demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang boleh dan
yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain. Serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin, sesuai dengan nash-nash dan hukum-hukum syara’.
Penjelasan kami sebagai berikut :

1. Sesungguhnya seluruh perbuatan manusia, dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam dan terikat dengan hukum-hukum risalah beliau. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada syara’ dan terikat dengan hukum-hukum syara’.


Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :

وَ مَا آتَاآُمُ الرَسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاآُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
“Apa-apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr 7)

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham-mad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,…” (An-Nisaa’ 65)

وَ مَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy-Syuura 10)

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya).” (An-Nisaa’ 59)

Bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR.Muslim)

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengada-adakan —dalam urusan (agama) kami ini— sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.”(HR. Bukhari)

Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara’ dan terikat dengannya adalah wajib. Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu perbuatan hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukannya; ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya, ataukah mubah sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.

Adapun benda-benda yang berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda
adalah mubah. Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar’i yang menunjukkan keharamannya.

Prinsip ini didasarkan pada nash-nash syara’ yang telah membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada (di alam sekitarnya), sesuai nash-nash umum dalam masalah ini yang meliputi semua benda.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
أَ لَمْ تَرَوا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرضِ
“Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (Luqman 20)

Arti menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan bumi untuk manusia, adalah bahwasanya Allah Subhana wa Ta’ala telah membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman pula :

هُوَ الّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (Al-Baqarah 29)

يَا أَيُّهَا النَّاس آُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tidak menjijikkan) dari apa yang terdapat di bumi.” (Al Baqarah 168)

هُوَ الَّذي جَعَلَ لَكُمْ الأَرضَ ذَلُولاً فَامْشُوا
فِي مَنَاآِبِهَا وَ آُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya” (Al-Mulk 15)

Demikianlah. Semua ayat yang telah membolehkan segala sesuatu itu bersifat umum dan keumumannya ini menunjukkan hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu yang ada. Dengan
kata lain, hukum bolehnya memanfaatkan semua benda telah ditunjukkan oleh khithab (seruan) Asy-Syari’ (Allah Subhana wa Ta’ala) yang bersifat umum. Maka jika suatu benda diharamkan, berarti harus ada nash syara’ yang mengkhususkan keumuman nash tersebut, serta menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah yang bersifat umum. Misalnya firman Allah Subhana wa Ta’ala :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الخِنْزِيرِ وَ مَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللهِ بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ المَوْقُوذَةُ وَ المُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيحَةُ وَ مَا
أَآَلَ السَّبُعُ إِلاّ مَا ذَآَّيْتُم وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ .
“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala…” (Al-Maaidah 3)

Dari dalil-dalil tersebut, maka hukum asal terhadap benda benda yang digunakan manusia, adalah mubah.

2. Hukum-hukum Syari’at Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang sedang terjadi, dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak
ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syari’at Islam. Jadi, Syari’at Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
وَ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدًى
وَ رَحْمَةً وَ بُشْرَى لِلمُسْلِمِيْنَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan pemberi kabar gembira bagi orang-orang Islam.” (An-Nahl
89)

مَا فَرَّطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (Al-Quran).” (Al-An’aam 38)

الْيَوْمَ أَآْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ
لَكُمُ الإِسلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni’mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Maaidah 3)

Walhasil, Syari’at Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia. Bagaimana pun juga perbuatan itu, Syari’at Islam pasti akan menetapkan dalil untuk suatu perbuatan melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan tanda (amaarah) dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari tanda tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut.

Jadi, secara syar’i tidak mungkin ada perbuatan manusia yang tidak dijelaskan oleh dalil, atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Ini berdasarkan keumuman firman Allah Subhana wa Ta’ala:

تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“untuk menjelaskan segala sesuatu” (An Nahl 89).

Juga berdasarkan nash yang tegas bahwa Allah Subhana wa Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam ini (Al-Maaidah 3).

3. Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin —dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain— dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.

Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/ bangunan yang bercorak kekotaan dan
terlahir dari kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya.

Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalil untuk ketentuan tersebut adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh benda-benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia.

Juga berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa salam :
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ،
وَ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أُمُوْرِ دُنْيَاآُمْ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
“Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku perintahkan kepada kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah perintah itu. Tapi jika aku perintahkan kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia kalian, maka ketahuilah aku ini hanyalah manusia biasa.” (HR. Muslim).

Juga berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa salam tentang penyer-bukan korma
sebagaimana sabdanya :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاآُمْ
“Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

Juga berdasarkan tindakan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa salam tatkala mengutus beberapa shahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata perang. Atas dasar inilah, maka setiap perkara yang tidak termasuk masalah aqidah atau hukum syara’, boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus yang mengharamkannya Berdasarkan uraian di atas, kaum muslimin dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu yang ber-hubungan dengan kedokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu ekonomi —yang membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu ini bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam, kapitalisme atau sosialisme, dan semua ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.

Maka dari itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah Subhana wa Ta’ala :

خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ آَالفَخَّارِ
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.”(Ar-Rahmaan 14)

وَ بَدَأَ خَلْقَ الإِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ مَاءٍ
مَهِيْنٍ
“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina (mani).” (As-Sajdah 7)

وَ مِنْ أَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ طُرَابٍ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan kamu dari tanah.” (Ar-Ruum 20)

Sebagaimana dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, kaum muslimin dibolehkan pula mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti produkproduk
industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda yang bercorak kekotaan dan berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu dibolehkan mengambil pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala jenis produknya. Dikecualikan di sini pabrik pabrik yang memproduksi patung, minuman keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya. Produk-produk industri boleh diambil baik yang berupa benda kemiliteran maupun bukan, baik industri berat —seperti tank, peShallallaahu ‘alaihi wa salamat tempur, peluru kendali, satelit, bom atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal api— maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata ringan, alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture, karpet, dan barang-barang konsumtif.

Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil sebab semuanya termasuk dalam kategori benda-benda yang mubah, dan dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan kemubahannya.

Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamalkan hukum syara’, yaitu mubah, dan juga dalam rangka mengikuti syari’at Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam sebab semua itu termasuk mubah, sedang

mubah merupakan salah satu hukum taklif (legal capacity) yang lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.

4. Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam, pan-dangan hidup Islam, dan hukumhukum
yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari’at Islam saja.

Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Sahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Dalil syar’i untuk ketentuan di atas adalah sebagai berikut :

a. Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa salam kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :

وَ مَا آتَاآُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاآُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr 7)

Kata “ مَ” (apa saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum, yang berarti ayat itu mewajibkan kita mengambil semua hukum yang dibawa Nabi untuk kita, dan menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum mukhalafah (penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil hukum dari selain hukum yang dibawa Nabi untuk kita.

b. Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan ulil amri (penguasa muslim yang menjalankan Syari’at Islam) di antara kamu.” (An-Nisaa’ 59)

Mentaati Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan meng-ambil hukum hukum syara’ yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman

وَ مَا آَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ
رَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ الخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab 36)

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوه إلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ
آُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمَ الآخِرِ
“Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) ber-lainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir.”(An-Nisaa’ 59)

d. Allah Subhana wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan mem-peringatkan beliau agar waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allah Subhana wa Ta’ala. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :

وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ
الكِتَابِ وَ مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَ
لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ

“Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai penghapus kitab-kitab tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”(Al-Maaidah 48)

e. Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta’ala telah melarang kaum muslimin untuk mengambil hukum dari selain Syari’at Islam. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisaa’ 65)

فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ

dan apa yang tidak beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.

Jika kata “ مَا ” (apa saja) dalam firman-Nya :

وَ مَا آتَاآُمْ
“Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian.” dan,

وَ مَا نَهَاآُمْ
“dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian.”

dikaitkan dengan firman Allah Subhana wa Ta’ala :

فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nuur 63)

Maka, akan nampak sangat jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa yang dibawa Rasul saja, dan bahwa mengambil (hukum) dari selain Rasul adalah dosa yang pelakunya akan mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah Subhana wa Ta’ala tidak mengakui keimanan dari orang yang berhakim kepada selain Rasul dalam perbuatan perbuatannya.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisaa’ 65)

Hal ini menunjukkan secara tegas mengenai pembatasan berhakim hanya pada apa yang dibawa Rasul saja, apalagi Allah Subhana wa Ta’ala telah memperingatkan Rasul-Nya untuk waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadanya. Allah Subhana wa Ta’ala
berfirman :

وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maaidah 49)

Di samping itu, Al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul, yakni hendak kepada hukum-hukum kufur. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاآَمُوا إلَى
الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ
الشَيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’ 60)

Hal ini menunjukkan bahwa berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul adalah suatu kesesatan, sebab tindakan ini berarti berhakim kepada thaghut, yakni kekufuran. Padahal Allah Subhana wa Ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengingkari thaghut itu.
———————————————————————

Dengan penjelasan ini, membuat KTP, Paspor, hukum-hukum lalu lintas adalah masuk keperkara duniawi, yang masih diperbolehkan syari’at. Sedangkan, perkara sistem negara, pengambilan hukum politik, hukum pidana, dan idiologi negara, serta perkara-perkara yang telah diatur secara jelas oleh syara’, maka diharamkan bagi kita untuk mengambilnya dari selain Islam..
Allaahu ‘alam bi-ash-showwab


[http://bit.ly/2uy06Ck]

Banner iklan disini
loading...

Subscribe to receive free email updates: